LAPORAN BLACKSPOT




BAB 1

 

PENDAHULUAN

1.1.           LATAR BELAKANG

Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas. Kecelakaan yang terjadi setiap jam di dunia ini tak terlepas dari faktor-faktor penyebab kecelakaan, diantaranya adalah faktor kondisi jalan.  Jalan yang  berkeselamatan bertujuan untuk mengurangi kuantitas terjadinya kecelakaan, mengurangi tingkat resiko kecelakaan, dan bahkan meminimalkan terjadinya kecelakaan sekalipun faktor manusia yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan. Jalan yang berkeselamatan dapat diciptakan melalui perbaikan kondisi pekerasan maupun perbaikan kondisi pelengkap dan perlengkapannya. Jalan berkeselamatan memiliki  beberapa  kondisi yang harus dipenuhi mulai dari Kondisi geometrik, perambuan, kondisi lingkungan, serta penegakan hukum dan peraturan yang berlaku sesuai dengan amanat undang-undang No. 38/2004 Tentang Jalan, Peraturan Pemerintah No. 34/2006 Tentang Jalan, UU No. 22/2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Permen PU No. 19/2011 Tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria dan Permen PU No. 11/PRT/M/2011 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Uji Laik Fungsi Jalan Nasional.

Direktorat Jenderal Bina Marga Satuan Kerja Perencanaan dan Pengawasan Jalan dan Jembatan Nasional Provinsi .......... dengan tugas dan tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan jalan yang berkelanjutan dengan mobilitas, aksesibilitas dan keselamatan yang memadai di Provinsi .........., mengadakan Identifikasi Daerah Rawan Kecelakaan  guna tersedianya data lokasi rawan kecelakaan serta terciptanya Jalan yang berkeselamatan di seluruh jaringan jalan Provinsi ...........

1.2.           MAKSUD DAN TUJUAN

1.2.1.     Maksud

Direktorat Jenderal Bina Marga Satuan Kerja Perencanaan dan Pengawasan Jalan dan Jembatan Nasional Provinsi .......... dalam rangka melaksanakan identifikasi daerah rawan kecelakaan serta solusi penanganannya diruas jalan nasional Provinsi ...........

Tujuan dari kegiatan ini adalah ketersediaan perencanaan teknis jalan yang berwawasan lingkungan, sesuai dengan rencana menggunakan standar prosedur yang berlaku guna tercapainya mutu pekerjaan perencanaan, tercapainya penyelesaian penanganan masalah-masalah yang sifatnya khusus serta memenuhi tingkat perekonomian yang tinggi sehingga tingkat pelayanan jalan yang diinginkan selama ini dapat tercapai.

1.3.           SASARAN

Keluaran yang akan dihasilkan dari pelaksanaan pekerjaan ini adalah laporan kegiatan identifikasi daerah rawan kecelakaan dan informasi serta rekomendasi untuk rencana penanganan pada lokasi tersebut sebagai upaya peningkatan keselamatan jalan

1.4.           RUANG LINGKUP

Lingkup kegiatan ini, terditri atas tahapan sebagai berikut :

a.         Pengumpulan data lapangan dimana terdapat lokasi-lokasi rawan kecelakaan.

b.         Perencanaan dan desain jalan yang berkeselamatan (pencegahan).

c.         Pengurangan kecelakaan :

1.        Identifikasi lokasi rawan kecelakaan.

2.        Diagnosa permasalahan keselamatan pada lokasi rawan kecelakaan.

3.        Pemilihan tindakan penanganan yang sesuai.

4.        Evaluasi keefektifan tindakan penanganan tersebut.

d.         Merevisi perencanaan teknis jalan dan jembatan sesuai kebutuhan setelah pemeriksaan final dari pengguna jasa, serta menyiapkan Addendum dokumen kontrak yang diperlukan pada saat tahap pelaksanaan konstruksi fisik.

1.5.           LOKASI PEKERJAAN

Jasa pelayanan ini dilakukan dilokasi ruas jalan nasional  Provinsi .......... yang tersebar, adapun ruas jalan akan ditinjau dalam jasa pelayanan ini adalah sebagai berikut :

a.         ........

b.         ........

c.         ..........

d.         ..........

e.         ......

1.6.           ADMINISTRASI PROYEK

Nama Pekerjaan                :     Perencanaan Teknis/DED Perbaikan Alinyemen dan Blackspot Provinsi ...........

Nama Pengguna Jasa        :     Satker Perencanaan dan Pengawasan Jalan Nasional Provinsi ............

        Nama Konsultan                :     ...........

        Nomor Kontrak                  :     HK.02.03/SATKER-P2JN/322/III/...........

Tanggal Kontrak                :    9 Maret ...........

Tanggal SPMK                   :     10 Maret ...........

Nilai Kontrak                      :     Rp. ............. (...................).

Waktu Pelaksanaan          :     ............ (............. Hari) Kalender.

Awal Pelaksanaan             :     10 maret ...........

Akhir Pelaksanaan             :     5 September ..........

                                                              Nama Team Leader           :     Ir. ............

 

        

DAFTAR ISI

1. 1-1

1.1.      LATAR BELAKANG.. 1-1

1.2.      MAKSUD DAN TUJUAN.. 1-2

1.2.1.       Maksud. 1-2

1.3.      SASARAN.. 1-2

1.4.      RUANG LINGKUP. 1-2

1.5.      LOKASI PEKERJAAN.. 1-3

1.6.      ADMINISTRASI PROYEK.. 1-3

 DAFTAR TABEL




 

BAB 2      

KAJIAN LITERATUR


 2.1.           KEBIJAKAN MENURUT JALAN YANG BERKESELAMATAN

2.1.1.     Perubahan Paradigma Penyelenggaraan Jalan

Pola-pola penyelenggaraan jalan yang saat ini diwarisi dan dilakukan masih memiliki berbagai macam kekurangan. Orientasi penyelenggaraan jangka pendek, belum adanya sinergisme yang baik antar wilayah dan antar jaringan jalan, berbasis output dengan indikator pencapaian berupa panjang jalan masih banyak dijumpai. Di samping itu, aspek keselamatan pengguna jalan belum dianggap sebagai suatu prinsip penyelenggaraan, pengaruh masyarakat dan lingkungan masih dianggap statis, dan peran pemerintah masih sangat dominan.

Dengan diadopsinya visi Direktorat Jenderal Bina Marga yang menginginkan terwujudnya sistem jaringan jalan yang andal, terpadu, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Nasional untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial, paradigma penyelenggaraan jalan mulai mengalami perubahan. Pola penyelenggaraan jalan masa depan diarahkan dengan orientasi jangka panjang untuk mendukung keterpaduan sistem pelayanan dan angkutan antarmoda/multimoda. Indikator berbasis manfaat (outcome) dan dampak akan dikedepankan. Aspek keselamatan pengguna pun dicanangkan menjadi bagian dari prinsip penyelenggaraan. Masyarakat dan pihak swasta mulai dilibatkan dalam pola-pola kerjasama penyelenggaraan.

Terkait dengan aspek keselamatan, disadari bahwa jaringan jalan melayani kepentingan multi-sektoral. Namun demikian, jalan dituntut harus mampu memberikan jaminan keselamatan kepada penggunanya. Jaminan keselamatan dari sudut pandang jalan dan lingkungan mengandung konsekuensi bagi penyelenggara jalan untuk dapat menciptakan jalan dan lingkungan yang tidak hanya andal secara mutu konstruksi, namun juga jelas dan mudah digunakan oleh pengguna jalan tanpa menyimpan ambiguitas dan potensi defisiensi keselamatan. Gambar 2.1 mengilustrasikan perubahan paradigma penyelenggaraan jalan berkeselamatan yang diturunkan dari Visi Kementerian Pekerjaan Umum dan Direktorat Jenderal Bina Marga

 

Gambar 2.1 Perubahan Paradigma Penyelenggaraan Jalan

2.1.2.     Regulasi Penyelenggaraan Jalan dan Konsekuensinya bagi Penyelenggara Jalan

Visi dan paradigma penyelenggaraan jalan Direktorat Jenderal Bina Marga disusun dengan semangat melaksanakan amanat undang-undang yang terkait dengan jalan. Undang-Undang No. 38 tahun 2004 tentang Jalan mengamanatkan penyelenggara jalan agar dalam menyelenggarakan jalan memperhatikan kriteria kehandalan, kenyamanan, keamanan, efektivitas, dan efisiensi, serta memperhatikan kepetingan umum. Kriteria ini mengharuskan kemantapan daya dukung jalan. Dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan, kriteria keselamatan dalam penyelenggaraan jalan menjadi semakin eksplisit. Undang-Undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan telah mewajibkan penyelenggaraan jalan untuk memenuhi kriteria keselamatan, kenyamanan, keamanan, dan ketertiban dan kelancaran berlalulintas. Dari dasar pijakan hukum inilah, penyelenggaraan jalan harus memperhatikan benar keselamatan pengguna jalan.

Lebih jauh terkait dengan penyelenggaraan jalan berkeselamatan menurut Undang-Undang No. 22 tahun 2009, pasal 8 Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa penyelenggara jalan wajib melaksanakan perbaikan geometrik sub-standar, uji laik fungsi sesuai standar keamanan & keselamatan, sistem informasi dan komunikasi prasarana jalan, penetapan kelas dan tingkat pelayanan jalan sesuai fungsi jalan, dan optimalisasi pemanfaatan ruas jalan. Selain itu, didalam Undang-Undang No. 22 tahun 2009, tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan pasal 21 disebutkan bahwa jalan harus memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara Nasional dan pada pasal 22 menyebutkan keharusan suatu ruas jalan umum untuk memenuhi persyaratan laik fungsi secara teknis dan administrasi. Suatu ruas jalan umum dinyatakan laik fungsi secara teknis apabila memenuhi persyaratan teknis:

1.         Struktur perkerasan jalan.

2.         Struktur bangunan pelengkap jalan.

3.         Geometrik jalan.

4.         Pemanfaatan bagian-bagian jalan.

5.         Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalulintas. dan

6.         Perlengkapan jalan.

 

 Pasal 23 hingga 25 Undang-Undang No. 22 tahun 2009, tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan juga terkait dengan keselamatan pengguna jalan. Pada pasal 23 disebutkan bahwa kegiatan preservasi  (pemeliharaan, rehabilitasi, rekonstruksi) jalan wajib menjaga keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran lalulintas. Pasal 24 menyatakan penyelenggara jalan wajib memperbaiki jalan rusak, jika belum dapat dilakukan perbaikan maka wajib memasang tanda atau rambu peringatan jalan rusak agar tidak memicu terjadinya kecelakaan. Sedangkan Pasal 25 menyebutkan bahwa setiap jalan yang digunakan untuk lalulintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan yang berupa:

1.         Rambu lalulintas dan marka jalan.

2.         Alat pemberi isyarat lalulintas.

3.         Alat penerangan jalan.

4.         Alat pengendali dan pengaman pengguna jalan.

5.         Alat pengawasan dan pengamanan jalan.

6.         Fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat. dan

7.         Fasilitas pendukung kegiatan lalulintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar badan jalan.

Salah satu penegasan yang amat penting terkait dengan keselamatan pengguna jalan yang terdapat pada Undang-Undang No. 22 tahun 2009, tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan pasal 229 dengan diakuinya penyebab kecelakaan lalu lintas dari unsur ketidaklaikan jalan dan/atau lingkungan, di samping unsur kesalahan manusia dan ketidaklaikan kendaraan. Lebih jauh, pasal 273 Undang-Undang No. 22 tahun 2009, tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan menegaskan bahwa penyelenggara jalan yang tidak segera dan secara patut memperbaiki jalan rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalulintas akan mendapatkan sanksi pidana dan denda.

Akhirnya, Pasal 29 hingga 32 Undang-Undang No. 22 tahun 2009 mengatur tentang pengelolaan dana preservasi jalan oleh pemerintah. Dana ini dimanfaatkan untuk mempertahankan kondisi jalan melalui kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi jalan agar terselenggara pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar. Pasal-pasal di atas saling terkait dan mendasari perlunya penyelenggaraan jalan yang mengutamakan aspek keselamatan pengguna jalan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang No. 22 tahun 2009 memberikan pijakan hukum yang amat kuat bagi penyelenggaraan jalan yang berkeselamatan. Pemetaan aspek legal pasal-pasal Undang-Undang No. 22 tahun 2009 terkait dengan jalan berkeselamatan diberikan pada Gambar 2.2 berikut:

Gambar 2.2 Aspek Legal Penyelenggaraan Jalan Berkeselamatan Berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan

 

2.2.           Keselamatan Lalu lintas Terkait Prasarana Jalan

2.2.1.     Fenomena Gunung Es Kecelakaan Lalu lintas

Secara tradisional, kecelakaan dipandang sebagai suatu insiden yang secara statistik jarang terjadi, dan kalaupun terjadi, kejadiannya bersifat acak (random), tidak disangka-sangka dan dapat terjadi di mana pun dan kapan pun. Berpegang pada pandangan ini, kecelakaan dianggap sebagai sebuah takdir yang tidak terelakkan sehingga permasalahan yang terkait dengan jumlah dan dampak negatifnya yang kian membesar seolah tidak dapat dicari solusinya.

Pandangan di atas kini sudah mulai ditinggalkan. Kecelakaan kini dipandang sebagai sebuah fenomena gunung es (Gambar 2.3). Hal yang tampak di permukaan dan tercatat pada laporan-laporan statistik tentunya adalah insiden tabrakan berikut jumlah korban dan kerugiannya. Namun pada dasarnya kecelakaan hanyalah merupakan suatu bagian dari insiden-insiden berlalulintas yang tidak dapat lagi dikendalikan oleh pengguna jalan sehingga berujung pada insiden tabrakan (crash). Konflik-konflik lain yang lebih banyak jumlah kejadiannya dan dapat dikoreksi serta diatasi oleh pengguna jalan tidak berbuah kecelakaan. Kompetensi pengguna jalan yang baik, kendaraan yang laik fungsi, serta jalan dan lingkungan jalan yang berkeselamatan dapat mencegah berbagai insiden berlalulintas dari berakhir menjadi suatu bencana.

Gambar 2.3 Kontinum Keselamatan Dalam Model Gunung Es, Sumber : Gryson dan Hakkert (1987). Maycock (1997)

 

2.2.2.     Konsep Jalan Berkeselamatan

Keselamatan lalu lintas jalan tercipta melalui interaksi yang berimbang antara pengguna jalan, kendaraan, dan infrasturktur jalan dan lingkungannya. Infrastruktur jalan yang berkeselamatan dapat diwujudkan dengan desain yang mengadaptasi karakteristik pengguna jalan pada seluruh bagian lingkungan jalan, meliputi aspek geometrik, marka dan perambuan, penerangan, perlengkapan jalan, vegetasi, kemantapan permukaan jalan, penggunaan teknologi informasi, manajemen kecepatan dan lalu lintas, peraturan lalu lintas dan peraturan/pedoman pengoperasian infrastruktur.

Jalan yang berkeselamatan dibangun dengan visi menciptakan jalan dan lingkungannya yang self-explaining, self regulating, dan forgiving road environment. Dengan visi self-explaining roads dikandung maksud bahwa infrastruktur jalan harus dibangun dan diselenggarakan dengan jelas, sederhana, seragam, tidak mengandung ambiguitas, mudah dipahami, dibaca, dan dikenali tanpa adanya banyak gangguan dan overload informasi yang membingungkan sehingga pengguna jalan yakin dengan tingkat kecepatan yang aman untuk digunakan, pembagian ruang jalan, serta lokasi dan pergerakan pengguna jalan lain di sekitarnya. Ruas-ruas jalan dengan kondisi ekstrim yang menuntut pengguna jalan untuk ekstra hati-hati dan sigap dalam berkendara harus diperlengkapi dengan sarana pendukung yang lengkap, seperti rambu, marka, penerangan, guard rail, dan pengarah, untuk mengkomunikasikan kondisi tersebut sejak dini agar pengguna jalan bersiap dan tidak menerima beban psikologis berkendara yang berat dan tiba-tiba. Dengan demikian, kealpaan, salah interpretasi, dan kebingungan pengguna jalan yang dapat berujung pada insiden kecelakaan dapat ditekan serendah-rendahnya. Jelaslah bahwa visi ini mengedepankan kesederhanaan dan kejelasan, bukannya kompleksitas dan kerumitan desain.

Terselenggaranya jalan dan lingkungannya dengan visi self-explaining akan memberikan dukungan bagi pengguna jalan untuk senantiasa menaati berbagai aturan berlalulintas dan berada di dalam keteraturan pergerakan lalulintas. Kondisi semacam ini mendukung terciptanya jalan yang bersifat self-regulating.  Di sisi lain, visi forgiving road environment memberikan pengakuan bahwa kesalahan dan kealpaan pengguna jalan adalah manusiawi dan sewaktu-waktu mungkin terjadi. Oleh karena itu semaksimal mungkin jalan dan lingkungan perlu didesain dengan konsep-konsep desain modern yang lebih adaptatif terhadap beban kerja pengendara. Lebih jauh, berbagai insiden yang mungkin terjadi harus dapat diantisipasi dan diberikan ruang koreksi. Ketika suatu insiden terjadi, pengguna jalan harus tetap memiliki ruang dan kesempatan untuk memperbaiki kelalaiannya tanpa harus menghadapi konsekuensi yang fatal. Visi jalan berkeselamatan jelas-jelas menempatkan pengguna jalan sebagai titik pusat dalam kebijakan pengembangan infrastruktur jalan sebagai upaya untuk memberikan pelayanan yang baik kepadanya. 

 

2.2.3.     Jalan dan Lingkungan Sebagai Penyebab Kecelakaan Lalu lintas

Selama ini, berbagai laporan selalu menyebutkan bahwa lebih dari 90% kasus  kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh faktor manusia. Penekanan yang terus-menerus pada faktor manusia seolah telah melupakan aspek jalan dan lingkungannya sebagai faktor penyebab lain yang cukup penting. Sementara itu, fakta yang diungkap dalam berbagai penelitian ilmiah menunjukkan meski faktor manusia memang dominan, kontribusi faktor lain, khususnya jalan dan lingkungan, tidak dapat ditiadakan begitu saja.

Treat dkk., misalnya, (Treat dkk, 1997) telah meneliti faktor penyebab lebih dari 2000 kecelakaan lalu lintas di lapangan atas dukungan dari NHTSA National Highway and Transportation Safety Administration di Amerika Serikat. Di antara kesimpulan yang didapatkan, meski faktor kesalahan manusia terlibat pada lebih dari 95% kasus, hanya sekitar 48% yang murni kesalahan manusia. Sementara itu, faktor penyebab pada sekitar 35% kasus kecelakaan adalah interaksi (yang buruk) antara manusia dan jalan/lingkungan (Gambar 2.4). Penelitian serupa di Australia (Austroads, 2002) juga menghasilkan kesimpulan yang senada. Interaksi antara manusia dan jalan/lingkungan bertanggung jawab pada sekitar 26% kasus kecelakaan lalulintas (Gambar 2.5).










Riset Inti bagi Pengembangan Keselamatan Jalan di Eropa (RIPCORD-ISEREST) pada tahun 2006 juga menyimpulkan bahwa meski secara statistik faktor jalan jarang dipersalahkan sebagai penyebab kecelakaan, analisis berbasis lapangan menunjukkan bahwa kesalahan pengemudi lebih banyak terjadi pada lokasi-lokasi tertentu dibanding lokasi-lokasi lain. Disimpulkan pula bahwa faktor kecepatan terlalu tinggi yang kerap kali dianggap sebagai penyebab langsung terjadinya kecelakaan ternyata dipicu oleh tipe-tipe atau situasi lingkungan jalan tertentu.









Gambar 2.5 Faktor Penyebab Kecelakaan di Australia Sumber : Austroads (2002) 

Penelitian kecelakaan yang dilakukan di Inggris tahun 1970-an dan 1980-an juga berkesimpulan bahwa faktor manusia memegang peranan penting dan mendominasi dalam kecelakaan di jalan raya, walaupun hal ini tidak terlepas dari bagaimana respon manusia dapat mengelola interaksinya dengan kondisi infrastruktur jalan (Roberts dan Tuner, 2008). Penelitian Carsten (1989) atas berbagai kasus kecelakaan di daerah perkotaan menunjukkan bahwa faktor kesalahan manusia banyak dipicu oleh keterbatasan jarak pandang ketika mengemudikan kendaraan. Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh Reason (1990) yang menyimpulkan bahwa kesalahan yang terjadi lebih banyak bersifat ketidaksengajaan dan kealpaan, bukan pelanggaran. Kesalahan-kesalahan yang kerap berakibat fatal ini dipicu oleh lingkungan berkendaraan yang ’kejam’ dan ‘sangat tidak pemaaf’ atas terjadinya kesalahan pengemudi. Sementara itu, untuk jalan luar kota organisasi internasional untuk ekonomi dan pembangunan (OECD, 1999) juga telah menyimpulkan bahwa sebagian sistem jalan luar kota saat ini banyak mengandung karakteristik inheren yang secara signifikan berkontribusi terhadap tingginya resiko dan angka kecelakaan.

Weller dkk (2006) di dalam penelitiannya menyebutkan bahwa di dalam berbagai laporan analisis statistik jalan jarang disalahkan sebagai sebuah faktor penyebab kecelakaan. Namun sebaliknya, berbagai analisis atas anatomi dan lokasi kejadian kecelakaan menunjukkan bahwa kesalahan manusia lebih sering terjadi pada tipe-tipe geometrik jalan tertentu di ruas-ruas jalan yang tertentu pula (Weller,et al.,2006). Berkenaan dengan hal ini Rasmussen (1987) di dalam penelitiannya telah mengusulkan bahwa untuk meningkatkan keselamatan maka insiden ketidaksesuaian antara manusia dan mesin kendaraan atau antara manusia dan beban berkendaranya perlu dicermati. Apabila ketidaksesuaian ini sering terjadi atau terjadi secara sistematik, maka kemungkinan besar penyebabnya adalah kesalahan desain jalan. Lebih jauh dikatakan, “analisis terhadap laporan kecelakaan menyimpulkan bahwa tindakan-tindakan tertentu yang diambil oleh manusia dianggap sebagai suatu ‘kesalahan’ karena dilakukan di dalam lingkungan yang ’tidak ramah’ atau ’kejam’. Kondisi lingkungan disebut ’tidak ramah’ karena hampir tidak tersedia alternatif kemungkinan bagi pengemudi untuk memperbaiki efek dari kekurangsesuaian kinerjanya sebelum dia menerima dampak buruk yang tidak diinginkan (Rasmussen, 1987).

 

Negara-negara maju yang sangat menghargai keselamatan warga negaranya dalam berkendara di jalan telah menyadari sepenuhnya kontribusi jalan dan lingkungan dalam mewujudkan keselamatan lalu lintas jalan. Otoritas Jalan di Swedia (negara dengan sistem jalan raya berkeselamatan terbaik di dunia), misalnya, menyatakan:

a.         Perencana sistem (Penyelenggara Jalan) bertanggung jawab terhadap perancangan, pengoperasian, dan penggunaan sistem transportasi. dan oleh karena itu bertanggung jawab pula atas tingkat keselamatan pada seluruh sistem

b.         Pengguna jalan berkewajiban mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh perencana sistem (Penyelenggara Jalan) selama mempergunakan sistem jalan dan transportasi

c.         Untuk mengantisipasi berbagai insiden di mana pengguna jalan tidak dapat menaati aturan karena kurangnya pengetahuan, penerimaan, maupun kemampuan, perencana sistem (Penyelenggara Jalan) harus mengambil langkah-langkah untuk mencegah pengguna jalan terbunuh ataupun terluka

Lembaga pemeringkat jalan di Eropa (EuroRAP, 2007) menyatakan bahwa di negara-negara yang pengguna jalannya menghormati peraturan lalu lintas, meski tidak sangat sempurna, riset-riset di negara-negara tersebut secara konsisten menunjukkan bahwa jalan yang lebih berkeselamatan ternyata lebih banyak menyelamatkan nyawa manusia dibandingkan dengan cara mengemudi yang lebih aman ataupun kendaraan yang lebih aman. Dikatakan pula bahwa kebutuhan tentang cara mengemudi yang berkeselamatan dan kendaraan yang lebih berkeselamatan telah sangat dipahami, namun sayangnya kebutuhan terhadap jalan yang lebih berkeselamatan belum banyak dimengerti.

 

Uraian di atas mengajak kita untuk tidak lagi menjadikan faktor manusia sebagai penyebab utama kecelakaan dan berhenti di sini, tetapi lebih jauh perlu dilihat apakah ada unsur-unsur kesalahan pada sistem lalu lintas (termasuk infrastruktur jalan) yang memicu terjadinya kesalahan-kesalahan manusia tersebut. Pemerintah Indonesia pada saat ini telah mulai mengakui peranan jalan dan lingkungan secara hukum dalam mendukung keselamatan lalu lintas jalan. Hal ini tercermin dari pembahasan pada subbab terdahulu yang mengetengahkan aspek legal bagi penyelenggaraan jalan berkeselamatan.

Untuk melanjutkan semangat Undang-Undang No. 22 tahun 2009 dalam penyelenggaraan jalan berkeselamatan, maka Mulyono,et al.(2008) dalam penelitiannya mendorong bahwa para penyelenggara jalan (perencana sistem jalan raya dan pengatur sistem lalu lintas) harus mampu menciptakan indikator kuantitatif dalam monitoring dan evaluasi defisisensi keselamatan jalan akibat penyimpangan standar teknis (geometrik, kinerja perkerasan dan harmonisasi fasilitas perlengkapan keselamatan jalan seperti rambu, marka dan sinyal). Ditjen Bina Marga (2010) juga telah menerbitkan buku panduan mewujudkan jalan berkeselamatan di Indonesia. Intinya panduan tersebut mengajak para perekayasa jalan agar menggabungkan pemahaman rekayasa jalan, desain jalan, serta faktor psikologi-fisiologi manusia dengan logika dan penilaian yang masuk akal. Sebagai contoh, para perekayasa harus dapat mengidentifikasi apa yang menyebabkan atau mungkin menyebabkan masalah tabrakan lalu lintas, memutuskan apakah masalah tersebut dikarenakan desain jalan, kesalahan manusia atau kombinasi keduanya, dan mencari strategi yang akan mengatasi semua masalah tersebut. Dengan mengetahui peran kondisi jalan dalam kaitan dengan jumlah tabrakan lalu lintas dan tingkat keparahannya, para perekayasa ingin mengurangi resiko yang ada dalam desain jalan. Karena kesalahan manusia juga merupakan faktor penyumbang dalam angka tabrakan lalu lintas, para perekayasa menciptakan kondisi jalan dengan memperhitungkan faktor ini untuk mengurangi dampak kesalahan manusia yang berpotensi mengundang bencana.

2.2.4.     Interaksi Manusia Terhadap Kendaraan dan Jalan

Beragam tipe dan sifat pengguna jalan menggunakan jalan untuk keperluan yang berbeda-beda. Pengguna jalan dapat berupa pejalan kaki, pengguna sepeda, penumpang ataupun pengendara kendaraan. Namun demikian terdapat kelompok pengguna yang secara aktif mempengaruhi tingkat keselamatan melalui aktivitas yang mereka lakukan. Kelompok ini adalah seluruh pengguna jalan, kecuali penumpang. Pengemudi salah satu pengguna aktif yang perlu mendapat perhatian dan pemahaman khusus, mengingat secara statistik aktivitas mereka merupakan faktor yang sangat signifikan berperan dalam kecelakaan di jalan raya. 

 

Fuller (2000) menggambarkan bahwa setiap saat aktivitas mengemudi mengharuskan seorang pengemudi untuk memenuhi suatu tuntutan sekaligus dari faktor-faktor lingkungan (kondisi fisik jalan, adhesi permukaan, visibilitas), pengguna jalan lain (yang kemungkinan berpotensi untuk berinteraksi), kendaraan (“display” informasi, karakteristik operasional dan pengendalian), dan posisi jalan serta kecepatan berkendaraan. Untuk memenuhi berbagai tuntutan tersebut seorang pengemudi mengandalkan kemampuannya yang diwujudkan dalam sebentuk kinerja. Faktor-faktor kemampuan biologis (seperti batas-batas stimulus, kecepatan pengolahan informasi, waktu reaksi, dan visual yang bervariasi bergantung pada umur), pendidikan dan pelatihan, serta pengalaman menentukan tingkat kompetensi seseorang. Tingkat kompetensi ini tidak setiap saat sama karena manusia dipengaruhi oleh berbagai hal seperti lelah dan kantuk, emosi, tekanan, gangguan, obat-obatan, dan sebagainya (faktor manusia). Pendapat Fuller (2000) ini disajikan dalam Gambar 2.6

 

Faktor-faktor biologis

Pendidikan & pelatihan

Pengalaman

Kompetensi

Faktor manusia

KINERJA (K)

TUNTUTAN MENGEMUDI (T)

Posisi jalan & trayektori

Kecepatan

Kendaraan

Pengguna jalan lainnya

Lingkungan

TABRAKAN

PENGENDALIAN

Aksi imbangan oleh pihak-pihak lain

KESELAMATAN

K > T

K < T

Gambar 2.6 Interaksi Antara  Tuntutan Mengemudi – Kinerja  Fuller (2000)

 

Jika kinerjanya pada saat itu (K) melebihi besarnya tuntutan (T) mengemudi, maka pengemudi dapat berkendara dengan selamat. Jika sebaliknya, maka tabrakan akan terjadi karena kehilangan kendali.  Kondisi berbahaya ini terkadang dapat dihindari jika pengguna jalan lain melakukan aksi defensif atau menghindar, yang menurunkan tingkat tuntutan mengemudi pada saat-saat yang kritis. Fuller mengajukan hipotesis (Fuller, 2000) bahwa hampir sepanjang waktu berkendara, pengemudi mengendalikan kendaraannya sedemikian rupa sehingga dia dapat mencapai tujuan perjalanannya sembari memastikan bahwa tingkat kesulitan mengemudi yang harus diatasinya tetap berada dalam batas-batas yang dapat diterimanya. Jika suatu saat tingkat kesulitan mengemudi dipandang terlalu tinggi, maka pengemudi akan memperlambat laju kendaraannya, demikian pula sebaliknya jika dianggap terlalu mudah dan menjemukan maka pengemudi tertuntut untuk memacu kendaraannya agar terasa lebih menantang. Dalam proses berkendara ini (disebut sebagai proses task-difficulty homeostasis, Gambar 2.7 perasaan pengemudi tentang kemampuannya serta motivasi untuk menempatkan diri dalam suatu tingkat kesulitan tertentu secara bersama-sama menentukan rentang tingkat kesulitan yang ditargetkan. Interaksi dinamis antara pengemudi dengan kondisi jalan yang secara terbuka dan tahap demi tahap diketahuinya serta dengan kondisi lalu lintas di sekitarnya membentuk tingkat kesulitan yang obyektif. Persepsi atas tingkat kesulitan obyektif inilah yang dibandingkan dengan target tingkat kesulitan pengemudi. Jika dipandang melampaui target (terlalu sulit), pengemudi akan mengambil tindakan untuk mengurangi tingkat kesulitan tersebut (misalnya dengan memperlambat laju kendaraannya), demikian pula sebaliknya. Konsep ini memiliki tiga buah implikasi yang relevansinya sangat erat dengan rekayasa jalan raya sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2.1

 

Kompetensi, motivasi, tekanan waktu, kekuatan-kekuatan sosial, faktor manusia, kesadaran (awareness)

Rentang tingkat kesulitan mengemudi yang dapat diterima

 

 

Pembanding

Keputusan dan tanggapan

Dampak pada kecepatan dan posisi kendaraan serta pada pengguna jalan lainnya

Tingkat kesulitan obyektif

Tingkat kesulitan yang dirasakan

Gambar 2.7 Proses “task-difficulty homeostasis Fuller (2000)

 

Tabel 2.1 Keterkaitan Antara Dinamika Mengemudi dan  Merekayasa Teknik Jalan

No.

Dampak cara mengemudi

Keterkaitan dengan bidang rekayasa teknik jalan raya

1

Resiko atas keselamatan muncul bila terdapat perbedaan antara tingkat kesulitan yang dipersepsikan dengan tingkat kesulitan yang sesungguhnya, yang membuat pengemudi menganggap remeh kondisi yang sebenarnya.

Pentingnya penyediaan informasi yang jelas dan dapat diandalkan oleh pengemudi, informasi tentang batas-batas kecepatan yang tepat, alinyemen yang konsisten, adhesi dengan permukaan jalan, dan tentang tiap kemungkinan adanya bahaya (obyek konflik) yang dapat muncul dengan segera

2

Memperpendek waktu perjalanan dianggap berharga. Jika pengemudi merasa dapat meningkatkan kecepatannya tanpa mengakibatkan meningkatnya tingkat kesulitan mengemudi sesuai persepsinya, maka ia akan melakukan hal tersebut.

Menjelaskan mengapa kasus-kasus intervensi keselamatan yang membuat tugas mengemudi lebih mudah (seperti meluruskan bagian tikungan) justru berakibat pada meningkatnya kecepatan.

Menjelaskan pula mengapa teknik-teknik traffic calming yang membuat tugas mengemudi menjadi lebih sulit (misalnya penyempitan lajur, pemasangan portal, tikungan ganda) berdampak pada menurunnya kecepatan.

Kemungkinan strategi-strategi potensial dapat dikembangkan dengan prinsip membuat tingkat kesulitan mengemudi tampak lebih sulit dibandingkan tingkat kesulitan objektifnya.

3

Dalam kondisi-kondisi  mengemudi menjadi sangat menantang dan tingkat kesulitannya melebihi kapabilitas pengemudi, dia akan memilih untuk menghindari kondisi-kondisi tersebut

Menjelaskan mengapa para pengemudi (misalnya mereka yang berusia tua) berupaya menghidari rute-rute atau waktu-waktu tertentu, atau bahkan memilih berhenti mengemudi dan berpindah ke moda transportasi yang lain

Sumber : Fuller (2000)

 

Representasi dinamika mengemudi dapat pula dijelaskan dengan teori “risk homeostasis” (Wilde, 1994) sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2.8 Dalam teori ini, pengemudi digambarkan berkendara sembari merasakan adanya resiko tabrakan (peluang mengalami kecelakaan > 0), namun dia bersedia menerima resiko tersebut. Misalnya, pengemudi dapat merasakan bahwa tingkat kecepatan yang dipilihnya bisa berakibat fatal jika tiba-tiba saja dia menjumpai penyeberang jalan ataupun sebuah tikungan tajam tepat di depannya. Pengemudi sering memilih menempuh resiko ini karena dia dapat merasakan adanya semacam nilai lebih (“rewards”) pada kecepatan tinggi yang jauh melebihi konsekuensi hukuman yang belum tentu dan jarang terjadi. Dalam hal ini pengemudi seperti bertaruh bahwa tabrakan atau kehilangan kendali atas kendaraan tidak akan terjadi.

Nilai manfaat (net utility) atas kesengajaan menempuh suatu resiko67%

Resiko yang ditargetkan24%

 

 

Pembanding

Keputusan dan tanggapan

 

Dampak pada kecepatan dan posisi kendaraan serta pada pengguna jalan lainnya

 

Resiko yang dirasakan

Gambar 2.8 Ilustrasi Risk-homeostasis Wilde (1994)

 

2.2.5.     Psikologi Beban Kerja dan Keselamatan Jalan

Konsep beban kerja memiliki sejarah yang cukup panjang dalam bidang psikologi. Aplikasinya dalam konteks mengemudikan kendaraan telah melahirkan konsep evaluasi keselamatan jalan berbasis psikologi. Beban kerja secara sederhana diartikan sebagai ”jumlah reaksi terhadap kebutuhan untuk memenuhi tuntutan” (de Waard, 1996). Terkait dengan keselamatan lalu lintas, terdapat paling tidak tiga macam beban kerja yang relevan, yaitu: (1) beban kerja visual, (2) beban kerja mental, dan (3) beban kerja fisik. Dalam mengemudi, aspek beban visual dianggap sebagai beban kerja yang terpenting. Hubungan antara tuntutan kerja, beban kerja dan kinerja mengemudi menurut De Waard (1996) ditunjukkan dalam Gambar 2.9 Secara umum, berbagai tingkatan tuntutan kerja akan menyebabkan perbedaan tingkat kinerja dan beban kerja. Pada kondisi tuntutan kerja yang tinggi, beban kerja juga bergerak meninggi. Penambahan tuntutan kerja berikutnya tidak dapat diimbangi oleh penambahan usaha-usaha (kinerja) untuk memenuhinya karena beban kerja sudah tinggi. Kondisi beban kerja yang tinggi apabila dipikul terlalu lama akan mengakibatkan efek-efek yang negatif. Kinerja seseorang akan berada pada level terbaiknya pada saat tuntutan kerja bersifat medium. Pada kondisi ini beban kerja berada pada level rendah. Pengemudi tidak pasif dalam mentoleransi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh berbagai tingkatan tuntutan kerja, namun sebaliknya cukup aktif dalam mengatur dirinya sehingga memperoleh beban kerja yang dianggap sesuai. Hal ini terutama dilakukan dengan mengurangi kecepatan. 

Rendah

Tinggi, berlebih

Rendah

Tinggi

Kinerja optimal

Kinerja

Beban kerja

Tuntutan Kerja

Gambar 2.9 Hubungan Antara Kinerja dan Beban Kerja Pada Berbagai Tingkatan Tuntutan Kerja

 

Berdasarkan model ini, nilai tuntutan kerja objektif dapat diubah dengan mengubah laju kecepatan kendaraan. Interaksi terus-menerus antara tuntutan kerja dan kemampuan pengemudi dapat berujung pada keselamatan mengemudi selama nilai kemampuan melebihi tuntutan. Desain jalan yang tepat dapat dibedakan dari desain jalan yang buruk berdasarkan perubahan nilai beban kerja yang dialami pengemudi (Fuller, 2005) sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2.10 Pada jalan dengan desain baik (gambar sebelah kiri), beban kerja lebih kurang memiliki nilai yang sama, baik pada bagian lurus maupun lengkung (horizontal/vertikal). Desain jalan yang tidak konsisten atau karakteristik tikungan yang terlambat dipahami oleh pengemudi (karena ketidakadaan rambu isyarat, ata kesulitan memperhatikan) akan mengakibatkan perlambatan kecepatan yang terlambat dan mendadak, serta naiknya nilai beban kerja yang tiba-tiba (gambar sebelah kanan). Berbagai teknik telah dikembangkan untuk mengukur beban kerja seseorang saat mengemudi. Metode teknik-teknik tersebut adalah: teknik pelaporan mandiri, teknik evaluasi tugas utama, teknik evaluasi tugas sekunder, teknik evaluasi psikologis, dan teknik evaluasi oklusi visual. Parameter tuntutan kerja yang diukur dalam tugas mengemudi meliputi semua situasi jalan dan lingkungan, serta lalu lintas yang statis maupun dinamis, antara lain: (1) alinyemen vertikal dan horisontal. (2) parameter deduktif seperti konsistensi dan kurvatur jalan. (3) perlengkapan jalan termasuk marka, lalu lintas, dan kondisi lingkungan pada saat evaluasi dilakukan (Bennett,et al., 2006).

Desain jalan yang baik

Stasion [m]

Beban kerja pengemudi

Kecepatan

1/R

Stasion [m]

Stasion [m]

Stasion [m]

Beban kerja pengemudi

Kecepatan

1/R

Stasion [m]

Stasion [m]

Awal kurva

Akhir kurva

Awal kurva

Akhir kurva

Desain jalan yang buruk

Gambar 2.10 Kinerja Perubahan Kecepatan dan Beban Kerja  Antara Desain Jalan yang “Baik” dan “Buruk

 

2.2.6.     Memahami Aspek Psikologis-Fisiologis Pengguna Jalan Menuju Terselenggaranya Jalan yang Berkeselamatan

Sistem lalu lintas jalan raya yang kita warisi saat ini adalah sebuah sistem yang sangat kompleks, dinamis dan secara fundamental tidak stabil (Fuller & Santos, 2002). Hal ini tercermin dari berbagai karakteristik subsistem yang menyusunnya. Sebagai contoh, sub sistem infrastruktur tersusun dari kombinasi berbagai tipe/kelas jalan mulai dari jalan-jalan sempit, jalan dalam kota yang kurang teratur, hingga jalan bebas hambatan yang menyediakan kecepatan yang sangat tinggi. Para pengguna jalan juga merupakan sebuah subsistem yang independen dan memiliki otonomi serta sifat-sifat yang berbeda satu sama lain secara radikal, mulai dari pejalan kaki hingga pengendara truk berat dengan beban berton-ton, usia yang bervariasi, dan sebagainya. Selain itu, dalam sistem ini terdapat berbagai sarana yang berbeda-beda untuk mengkomunikasikan berbagai karakter sistem kepada penggunanya. Sarana ini meliputi rambu, sinyal, marka jalan, hingga tampilan visual dan pesan suara di dalam kendaraan.

Konsekuensi dari pengoperasian sistem yang secara inheren tidak stabil ini dapat berdampak negatif dan bersifat merusak bagi banyak orang. Selama ini, para insinyur perancang jalan lebih banyak bermain sebagai para psikolog, dengan membuat dugaan-dugaan berdasarkan intuisi tentang bagaimana pengguna jalan akan merespon berbagai bentuk desain jalan yang diusulkan, kerap menempatkan diri mereka sebagai referensi yang mewakili seluruh pengguna jalan, serta secara coba-coba menghasilkan berbagai solusi perubahan bentuk desain berdasarkan pengalaman.

Pemahaman tentang aspek-aspek psikologis dan faktor manusia yang melekat pada pengguna jalan sebagai pemakai akhir dari sistem yang mereka rancang tidak banyak dipahami. Sifat alamiah bahwa manusia dapat berbuat kesalahan dengan berbagai macam alasan yang melatarbelakanginya amat jarang dipertimbangkan dalam desain jalan. Prinsip-prinsip rekayasa yang kadang bertentangan dengan persepsi dan perilaku manusia digunakan tanpa disesuaikan. Asumsi dasar yang secara tidak sadar selalu digunakan adalah: “manusia tidak boleh berbuat salah ketika menggunakan sistem jalan raya”. Akibatnya, sistem transportasi jalan raya yang dibangun tercipta sebagai sebuah sistem yang terlalu kejam, dalam banyak hal tidak mengenal toleransi dan kurang mampu mengakomodasi kesalahan-kesalahan manusiawi penggunanya.

Potensi permasalahan terkait dengan faktor manusia muncul pula dari sisi lain. Di masa yang akan datang, populasi pengguna jalan berusia tua diperkirakan akan meningkat secara signifikan, berdasarkan jumlah dan tingkat mobilitas manusia saat ini. Peningkatan ini dikhawatirkan akan diikuti pula oleh peningkatan keterlibatan kelompok usia tua dalam berbagai kasus kecelakaan lalu lintas, mengingat desain jalan dan kendaraan saat ini dibuat berdasarkan tingkat kinerja orang-orang muda yang jauh lebih cakap.

Estimasi dalam 30 tahun mendatang menyebutkan bahwa tingkat keterlibatan pengemudi berusia tua dalam kasus kecelakaan akan meningkat 3 hingga 4 kali lipat dibandingkan dengan kondisi saat ini (Fildes, 2001). Generasi tua yang secara alamiah akan menderita penurunan kinerja terkait aspek visual, kognitif, dan fisik tentu akan terperangkap dalam kelompok pengguna yang rawan kecelakaan (Simões & Marin-Lamellet, 2002). Sayangnya perhatian bagi hal ini belum banyak diberikan. Secara teknis, perancang sistem jalan semestinya dapat memperhatikannya misalkan dalam menentukan waktu reaksi yang cukup, kejelasan dan delineasi jalan, perambuan jalan, kompleksitas simpang, tempat-tempat menyeberang jalan, dan cepatnya respon untuk perbaikan kerusakan jalan yang berpotensi bahaya. Semua ini adalah pengetahuan yang penting bagi terciptanya suatu sistem yang responsif atas berbagai karakter psikologis penggunanya, sehingga pada gilirannya akan menyediakan suatu tingkat mobilitas dengan tingkat keselamatan yang lebih baik.

2.3.           Peran Penyelenggara Jalan dalam Mewujudkan Jalan Berkeselamatan

Berbagai upaya sudah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga untuk merancang jalan yang berkeselamatan terutama dari aspek geometrik dan perkerasan permukaan jalan yang berkinerja baik. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa hal ini sangat tidak mudah dan banyak menjumpai tantangan dan kendala yang harus dihadapi, antara lain:

a.         Keterbatasan lahan yang mendorong tidak dipakainya desain jalan yang standar.

b.         Penyalahgunaan pemanfaatan lahan yang berada di sekitar jalan sehingga menyulitkan untuk pelebaran lajur dan jalur jalan.

c.         Kerusakan struktural jalan yang disebabkan faktor air dan beban gandar kendaraan yang overloading. Kondisi jaringan jalan yang sub-standar tersebut jika dibiarkan akan berdampak makin bertambahnya kejadian kecelakaan berkendaraan.

Oleh karena itu ruas-ruas jalan yang bersifat substandard masih dioperasikan dengan harmonisasi fasilitas perlengkapan keselamatan jalan yang dikaitkan dengan fungsi dan kelas jalan. Di samping itu, sering kali permasalahan keselamatan lalu lintas jalan tidak cukup ditangani dengan berpedoman pada standar-standar pembangunan yang berlaku. Masalah keselamatan yang mucul di lapangan saat ini bisa jadi bermula dari sejak saat perencanaan awal ketika trase jalan mulai ditentukan dan didesain. Berbagai nilai spesifikasi pada standar pembangunan memang telah diturunkan berdasarkan prinsip keselamatan pengguna dan disesuaikan dengan berbagai jenis lokasi jalan. Namun spesifikasi tersebut tentu saja tidak dapat mewakili seluruh kondisi medan pada lokasi jalan. Selain itu, pengguna jalan yang dijadikan model di dalam membuat standar-standar pembangunan adalah orang dengan kemampuan berkendara yang prima dan amat jarang berbuat kelalaian. Sedangkan mayoritas pengguna jalan yang sesungguhnya boleh jadi memiliki karakter yang berbeda.

 

Di Indonesia, mengatasi masalah keselamatan lalulintas jalan tidaklah mudah. Salah satu sebabnya adalah karena ditangani oleh berbagai lembaga yang berbeda seperti: Ditjen Bina Marga, Ditjen Perhubungan Darat, Pemerintah Daerah, dan Kepolisian Republik Indonesia. Keselamatan jalan harus dipandang masalah bangsa bukan masalah pribadi atau golongan atau lembaga tertentu karena begitu kompleks penyebab kejadiannya. Berdasarkan UU 22/2009 disebutkan bahwa lembaga yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan LLAJ yang selamat, aman, nyaman, tertib dan lancar, adalah Kementerian PU, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Riset dan Teknologi, dan Kepolisian.  Dengan demikian ke depan, solusi yang harus dilakukan adalah perlu koordinasi antar lembaga dalam mencermati faktor-faktor penyebab kecelakaan berkendaraan di jalan raya yang lebih jelas dan fair sehingga tidak ada lembaga tertentu memanfaatkan pengemudi sebagai penanggung jawab tunggal di lapangan.

2.3.1.      Pendekatan Multibidang Untuk Menekan Tingginya Angka dan Dampak Kecelakaan Lalulintas

Keselamatan Jalan sangat terkait dengan besar kecilnya resiko pengguna jalan untuk mengalami kecelakaan lalu lintas. Apabila resiko-resiko yang mengancam keselamatan dapat ditekan sekecil mungkin, maka dapat dikatakan bahwa kinerja keselamatan jalan cukup tinggi. Besar kecilnya resiko ini pada umumnya dapat diketahui dari statistik kecelakaan lalu lintas dari waktu ke waktu. Dengan semakin majunya kajian-kajian tentang kecelakaan lalu lintas, telah dipahami bahwa kecelakaan dapat terjadi karena adanya satu defisiensi atau lebih dari sistem kendaraan, sistem jalan dan lingkungan, serta sistem manusia yang saling berinteraksi. Anggapan bahwa kecelakaan adalah sebuah takdir yang tidak dapat diintervensi menjadi tidak mutlak lagi.

Upaya menekan resiko kecelakaan dilakukan melalui pengendalian ketiga sistem tersebut secara maksimal sehingga dapat selalu bekerja dalam kinerja keselamatan yang tinggi. Dengan demikian, kecelakaan yang sebenarnya (true accident) hanya terjadi setelah seluruh upaya telah dilakukan untuk memastikan setiap sistem tersebut berada pada kondisi yang baik. Mengingat kompleksnya interaksi manusia, mesin (kendaraan), dan lingkungan (termasuk jalan) dalam suatu sistem lalu lintas, maka secara sudah sewajarnya diperlukan pendekatan yang bersifat multisektoral untuk menangani permasalahan keselamatan jalan.  Berkenaan dengan hal tersebut, Asian Development Bank (ADB, 2004) telah mengidentifikasi adanya 14 bidang yang dapat diintervensi secara bersama-sama untuk mengurangi angka dan resiko kecelakaan (Gambar 2.11)

Bidang-bidang yang memerlukan PERAN AKTIF Penyelenggara Jalan

Polisi lalu lintas dan penegakan hukum

 

Peraturan lalu lintas

Koordinasi & manajemen keselamatan jalan

Kampanye & sosialisasi keselamatan jalan

Pelatihan & pengujian pengemudi

Pendidikan keselamatan jalan untuk anak

Pertolongan pertama bagi korban kecelakaan laluintas

Standar keselamatan kendaraan

Sistem data kecelakaan lalu lintas

Perbaikan lokasi rawan kecelakaan

Riset keselamatan jalan

Perhitungan biaya kecelakaan lalu lintas

Perencanaan & desain jalan ber-keselamatan

Kecelakaan lalu lintas

kendaraan

manusia

interaksi

interaksi

interaksi

Kecelakaan lalu lintas (crashes) dan faktor-faktor penyebabnya

jalan & lingkungan

Prinsip pendekatan 5E:

Engineering             

Education

Enforcement

Encouragement

Emergency Preparednesss

Asuransi keselamatan jalan

Bidang-bidang  yang memerlukan PERAN AKTIF Penyelenggara Jalan

Gambar 2.11 Kontribusi Peran Ditjen Bina Marga Terhadap Penanganan Keselamatan di Jalan Raya

 

Ke-14 bidang tersebut dapat dikelompokkan ke dalam lima golongan yang dikenal sebagai Pendekatan 5-E, yaitu: (1) Engineering (pendekatan rekayasa). (2) Education (pendidikan). (3) Enforcement (penegakan hukum). (4) Encouragement (dorongan dan anjuran). dan (5) Emergency preparedness (kesiapan tanggap darurat).

Keterlibatan para penyelenggara jalan dalam mewujudkan keselamatan lalu lintas mendorong koordinasi dan komunikasi lintas sektor untuk ditingkatkan lagi sehingga program-program dan sasaran kegiatan dapat diimpelentasikan secara efektif dan efisien. Seperti telah ditunjukkan pada Gambar 2.11, bidang-bidang yang dapat digarap dalam penanganan keselamatan lalu lintas jalan dapat diintegrasikan pada lembaga/kementerian di Indonesia.

 

Ditjen Perhubungan Darat telah menyiapkan Dewan Keselamatan Transportasi Jalan yang berperan sebagai koordinator untuk mengakomodasi kepentingan para pemangku kepentingan dalam kegiatan keselamatan dan Penyusunan Rencana Umum Keselamatan Jalan yang mencakup kegiatan keselamatan yang terkait aktivitas di jalan. Namun respon pihak-pihak terkait masih lemah terhadap eksistensi dewan keselamatan tersebut sehingga tidak jelas fungsi dan keberadaannya. Polisi Republik Indonesia (POLRI) sebagai lembaga penegak hukum mempunyai tugas untuk mengelola data kecelakaan lalu lintas dan saat ini sedang menyusun inovasi basis data dalam rangka memutakhirkan sistem data dan masukan yang dapat digunakan untuk penanganan keselamatan secara terpadu. Sedangkan Ditjen Bina Marga telah menyusun SPM (standar, pedoman, manual) yang berkaitan dengan keselamatan infrastruktur jalan, seperti pedoman audit keselamatan jalan, penanganan daerah rawan kecelakaan, dan pengumpulan data kecelakaan dari aspek infrastruktur jalan.

2.3.2.      Peranan yang Dituntut dari Direktorat Jenderal Bina Marga

Kajian Kebutuhan Persiapan Pelaksanaan Keselamatan Jalan di Indonesia (Bina Marga, 2006) telah mengidentifikasi bidang-bidang apa saja yang memerlukan peran aktif Ditjen Bina Marga dalam menangani keselamatan infrastruktur jalan di Indonesia. Berdasarkan lingkup tugas pokok dan fungsi Ditjen Bina Marga sebagai penyelenggara jalan, peran lembaga ini dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kategori, yaitu: peran pendukung aktif dan peran utama (leading sector). Dalam perannya sebagai leading sector (Gambar 2.11), Ditjen Bina Marga perlu berupaya untuk menciptakan kondisi jalan dan lingkungan jalan yang ”berkeselamatan”. Hal ini dapat ditempuh dengan mengawal dan memastikan aspek keselamatan pengguna jalan telah diperhatikan di dalam perencanaan, desain, dan pembangunan jalan, serta perbaikan-perbaikan lokasi-lokasi jalan rawan kecelakaan. Sosialisasi dan internalisasi penyelenggaraan jalan berkeselamatan bagi seluruh jajaran penyelenggara jalan amat diperlukan.

Gambar 2.12  Peran Ditjen Bina Marga dalam Keselamatan Jalan Bina Marga (2006)

Selain itu, untuk dapat berperan sebagai leading sector dalam bidang-bidang ini, dukungan basis data kecelakaan dan riset-riset yang berkenaan dengan peran infrastruktur dalam mencegah (preventif) dan mengurangi resiko kecelakaan (protektif) mutlak diperlukan. Oleh karena itu, Ditjen Bina Marga juga perlu mendorong secara aktif terciptanya dan berfungsinya sistem data kecelakaan nasional serta riset-riset keselamatan lalu lintas jalan. Identifikasi peran Ditjen Bina Marga dalam memainkan peranannya sebagai pendukung maupun sebagai pemeran utama dalam mewujudkan keselamatan lalulintas jalan dapat dilihat dalam Gambar 2.12 Selain itu agar masyarakat pengguna jalan memiliki pemahaman dan dapat memahami karakteristik prasarana jalan dengan baik, maka Ditjen Bina Marga juga perlu terlibat aktif dalam kampanye dan sosialisasi keselamatan lalu lintas jalan dalam bidang infrastruktur. Ditjen Bina Marga juga perlu aktif dalam bidang koordinasi, kolaborasi dan manajemen, di mana semua permasalahan dan strategi dapat dibahas dan dipecahkan bersama sektor lain yang terlibat.

 

2.3.3.     Strategi-strategi Pengelolaan Aspek Keselamatan Lalu Lintas Jalan

Berbagai macam kegiatan dapat diprogramkan dalam upaya menjamin diperhatikannya aspek keselamatan pengguna jalan dari sisi infrasturktur jalan, semenjak tahap perencanaan hingga pembukaan jalan untuk melayani lalu lintas. Kegiatan-kegiatan tersebut dikelompokkan menjadi dua kelompok strategi: kegiatan yang bersifat pencegahan kecelakaan (strategi preventif, atau proaktif) dan kegiatan yang bersifat perbaikan (strategi reaktif). Strategi preventif mencakup berbagai kegiatan untuk mencegah terjadinya kecelakaan di masa yang akan datang dengan cara meminimalisir resiko kecelakaan akibat munculnya atau tereksposenya defisiensi keselamatan di sepanjang ruas jalan. Kegiatan-kegiatan yang bersifat preventif adalah: (1) analisis Dampak Keselamatan, (2) Inspeksi Keselamatan Jalan, dan (3) Audit Keselamatan Jalan. Sementara itu, strategi reaktif meliputi kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk memperbaiki lokasi-lokasi ruas jalan yang selama ini tercatat telah memakan banyak korban agar di masa yang akan datang tidak terjadi lagi kecelakaan fatal pada lokasi-lokasi tersebut. Kegiatan yang bersifat reaktif adalah: (1) manajemen dan perbaikan daerah rawan kecelakaan dan blackspot, (2) manajemen keselamatan pada level jaringan jalan. Untuk dapat mengoperasikan kegiatan-kegiatan ini secara efektif dan berkesinambungan, diperlukan dukungan multisektoral serta penyelenggaraan berbagai aktivitas pendukung yang meliputi: (1) pemahaman terhadap pengetahuan tentang kecelakaan (accidentology), (2) analisis biaya manfaat (cost-benefit), (3) riset-riset keselamatan terkait infrastruktur jalan, dan (4) training dan pelatihan, serta (5) mempelajari solusi-solusi terbaik yang selama ini telah dilakukan di berbagai tempat.

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2.13  Strategi untuk Mewujudkan Jalan Berkeselamatan Antonissen (2006)

Uraian berikut menerangkan secara singkat kelima upaya yang terangkum di dalam strategi preventif/proaktif dan reaktif tersebut.

 

a.         Evaluasi Dampak Keselamatan Jalan

Evaluasi Dampak Keselamatan (EDKJ) merupakan sebuah analisis keselamatan yang sistematis dan independen atas suatu proyek jalan sebelum tahap persetujuan dan desain, yaitu pada tahap studi kelayakan. EDKJ memperbandingkan dampak berbagai skenario perencanaan alinyemen dan titik-titik interkoneksi jalan baru ataupun modifikasi substansial suatu jaringan jalan pada kinerja keselamatan jalan-jalan di sekitarnya (European Union of Road Federation, 2006).

Studi-studi kelayakan atas proyek jalan umumnya menggunakan analisis biaya-manfaat untuk menilai tingkat kelayakannya. Pada banyak negara, termasuk Indonesia, komponen dampak keselamatan jalan belum diwajibkan untuk dimasukkan sebagai salah satu komponen perhitungan biaya-manfaat. Namun beberapa negara lain telah memandang EDKJ penting untuk dilakukan. Beberapa negara seperti Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat, bahkan telah mengembangkan perangkat-perangkat untuk mengevaluasi investasi atas pembangunan infrastruktur yang di dalamnya memasukkan pula unsur dampak (dikonversi ke dalam satuan moneter) dari investasi tersebut terhadap peningkatan/penurunan tingkat keselamatan jalan.

analisis biaya-manfaat atas investasi pembangunan jalan dilakukan untuk mencari tingkat reduksi biaya pengguna sebagai akibat dari biaya investasi yang ditanamkan. Umumnya, biaya pengguna yang diperhitungkan meliputi reduksi waktu perjalanan, polusi udara, kebisingan, dan komponen lainnya. Pada banyak kasus dapat dijumpai keadaan dimana nilai moneter reduksi waktu perjalanan atau komponen lainnya melebihi nilai manfaat keselamatan jalan. Hal ini dapat berakibat diterimanya proyek investasi yang berpotensi meningkatkan angka kecelakaan, dan sebaliknya, ditolaknya proyek investasi yang berpotensi mengurangi angka kecelakaan. Dari sudut pandang ekonomi secara umum, hal ini tentu masuk akal dan tidak perlu dipermasalahkan. Namun akan lain halnya apabila keselamatan jalan memang telah menjadi prioritas sosial dan target politik telah ditetapkan secara jelas untuk mengurangi angka kecelakaan. Dalam kondisi tersebut analisis Dampak Keselamatan Jalan dapat menjadi perangkat penting dalam upaya pencapaian target pengurangan angka kecelakaan.

analisis Dampak Keselamatan juga dapat diterapkan untuk mengevaluasi program-program non-investasi, misalnya dampak penerapan batas kecepatan, pengutipan tol, ataupun penegakan peraturan lalulintas terhadap keselamatan jalan. Namun masih amat sedikit negara (termasuk Amerika Serikat dengan STEAM-nya) yang memiliki pedoman resmi tentang bagaimana melakukan evaluasi sistematis atas dampak berbagai strategi transportasi non-investasi pada keselamatan di jalan.

Direktorat Jenderal Energi dan Transport Uni Eropa (2003) merekomendasikan analisis Dampak Keselamatan untuk diterapkan pada tahap awal perencanaan, sehingga hasil evaluasinya dapat mempengaruhi tahap-tahap perencanaan berikutnya. EDKJ berkaitan dengan prioritas pemilihan proyek, bukan dengan detail perencanaan proyek. EDKJ bukan merupakan pengganti Audit Keselamatan Jalan, namun merupakan satu langkah yang dilakukan sebelum Audit Keselamatan. Sebaliknya, kekurangan akibat tidak adanya EDKJ juga tidak dapat ditutupi dengan melakukan Audit Keselamatan Jalan yang berkualitas.

Di Inggris, Norwegia, Italia, Jerman, dan Swedia EDKJ merupakan bagian awal dari Audit Keselamatan Jalan. Di Denmark, EDKJ wajib dilakukan untuk seluruh proyek jalan baru. Austria merencanakan untuk menggabungkannya dalam proses Audit Keselamatan Jalan, sedangkan Finlandia tengah membahas rencana penerapan EDKJ. Tahun 2001 Belanda telah membuat manual keselamatan jalan yang di dalamnya memasukkan manual analisis dampak keselamatan untuk memperkirakan efek dan biaya strategi-strategi keselamatan jalan.

 

b.        Audit Keselamatan Jalan

Audit Keselamatan Jalan (AKJ) adalah analisis keselamatan yang sistematik dan independen atas seluruh karakteristik desain suatu proyek jalan, baik jalan baru maupun rehabilitasi, pada tahap perencanaan, desain, dan operasi awal untuk menjamin tingkat keselamatan yang tinggi bagi semua pengguna jalan (European Union of Road Federation, 2006). Berdasarkan Pedoman Audit Keselamatan Jalan Pd T-17-2005-B, Audit Keselamatan Jalan merupakan bagian dari strategi pencegahan kecelakaan lalu lintas dengan suatu pendekat perbaikan terhadap kondisi desain geometri, bangunan pelengkap jalan, fasilitas pendukung jalan yang berpotensi mengakibatkan konflik lalu lintas dan kecelakaan lalu lintas melalui suatu konsep pemeriksaan jalan yang komprehensif, sistematis, dan independen.

Tujuan utama audit keselamatan jalan adalah untuk:


  1. Mengidentifikasi potensi permasalahan keselamatan bagi pengguna jalan dan yang pengaruh-pengaruh lainnya dari proyek jalan, dan,
  2.   Memastikan bahwa semua perencanaan/desain jalan baru dapat beroperasi semaksimal mungkin secara aman dan selamat.

Laporan audit bersifat mengidentifikasi berbagai potensi kekurangan dari sisi keselamatan (defisiensi keselamatan) dan merekomendasikan perubahan desain guna menghilangkan kekurangan-kekurangan tersebut. Manfaat audit keselamatan jalan adalah untuk:

  1. Mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya suatu kecelakaan pada suatu ruas jalan
  2. Mengurangi parahnya korban kecelakaan.
  3. Menghemat pengeluaran negara untuk kerugian yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas dan,
  4. Meminimumkan biaya pengeluaran untuk penanganan lokasi kecelakaan suatu ruas jalan melalui pengefektifan desain jalan.

Sejarah Audit Keselamatan Jalan berawal dari Inggris pada era 1980an, sebagai tindak lanjut dari program Penyelidikan dan Pencegahan Kecelakaan (Accident Investigation and Prevention – AIP). Selanjutnya AKJ menjadi sebuah kewajiban yang dituntut oleh peraturan perundangan setempat sebagai langkah untuk mengurangi resiko kecelakaan pada jalan-jalan di Inggris. Prosedur formal audit dikembangkan hingga muncul versi pertama Pedoman Audit Keselamatan Jalan terbitan Institution of Highways and Transportation (IHT) tahun 1990. Australia dan New Zealand pada tahun 1990-an mengikuti jejak Inggris dalam menerapkan AKJ, diikuti oleh Amerika Utara, Afrika Selatan, serta beberapa negara Eropa dan Asia.

Audit Keselamatan Jalan bukanlah sekedar pengecekan teknis atas pemenuhan suatu standar desain, ataupun pengecekan kualitas engineering suatu proyek. Esensi dari audit ini adalah menerapkan secara sistematis pengetahuan baru di bidang keselamatan infrastruktur (infrastructure safety) pada sistem jalan raya sedini mungkin, disesuaikan dengan aspek organisasi dan administrasi suatu Negara. Audit diharapkan dapat meminimalisir jumlah dan tingkat keparahan kecelakaan yang terjadi pada sistem. Dengan demikian, biaya total dari suatu skema infrastruktur jalan dapat ditekan, karena koreksi atas desain yang berbahaya bagi keselamatan akan menjadi lebih mahal jika dilakukan pada tahap-tahap setelah infrastruktur dioperasikan.

 

Prinsip yang harus dipenuhi di dalam pelaksanaan audit keselamatan jalan, antara lain:

  1. Ruang lingkup audit dan organisasi pelaksana harus jelas tertuang di dalam proposal proyek audit
  2. Pelaksana audit merupakan team yang tidak terkait dengan perencanaan proyek.
  3. Team pelaksana audit harus memiliki pengetahuan dan pengalaman di dalam bidang keselamatan jalan.
  4. Temuan audit harus terdokumentasi dan dilaporkan dalam setiap tahapan pelaksanaan audit.
  5. Pelaksanaan audit harus dilakukan dengan prosedur yang  jelas dan sistematis.
  6. Pelaksanaan audit mengacu kepada standar geometri dan prinsip-prinsip keselamatan jalan sebagaimana yang tertuang dalam NSPM.

Selengkapnya, Audit Keselamatan Jalan dapat dilakukan pada tahap-tahap pembangunan jalan sebagai berikut:

1.        Tahap Pra Rencana (Pre Design Stage). Audit keselamatan memberikan masukan pada isu-isu mendasar seperti standar desain, pemilihan rute atau trase, konektivitas dengan jaringan yang telah terbangun, jumlah dan lokasi persimpangan, dan sebagainya.

2.        Tahap Draft Desain (Draft Engineering Design Stage). Audit keselamatan dapat mengevaluasi ada tidaknya isu-isu keselamatan pada alinyemen horisontal dan vertikal serta layout persimpangan rencana.

3.        Tahap Detail Desain (Detailed Engineering Design Stage), audit keselamatan mengevaluasi hasil perancangan yang akan dibangun. Tahap ini adalah kesempatan terakhir untuk memperbaiki desain sebelum masuk pada tahap konstruksi. Audit keselamatan memfokuskan perhatian pada detail rencana jalan dan pengaturan/pengalihan lalu lintas saat pembangunan dilaksanakan (bila ada).

4.        Tahap sebelum pembukaan (pre-opening). Audit keselamatan memastikan bahwa seluruh kebutuhan yang terkait dengan keselamatan semua pengguna jalan telah dipertimbangkan. Termasuk yang dilakukan dalam audit ini adalah inspeksi lapangan detail baik pada siang maupun malam hari, serta pada berbagai kondisi cuaca.

5.        Setelah pembukaan, monitoring singkat dilakukan untuk mengevaluasi apakah para pengguna jalan menggunakan prasarana terbangun sesuai dengan yang diharapkan atau dirancang. Monitoring ini dapat menghasilkan umpan balik yang sangat berharga bagi para desainer dan auditor untuk perbaikan di masa mendatang.

c.         Inspeksi Keselamatan Jalan

Inspeksi Keselamatan Jalan (IKJ) dilakukan untuk memeriksa tingkat keselamatan pada jaringan jalan yang telah terbangun dan beroperasi, termasuk kondisi lingkungan sisi jalan. Ideanlya, IKJ dilakuakn secara periodik oleh ahli yang terlatih dalam bidang keselamatan jalan (ERF, 2006). Ide dasar IKJ adalah pengendalian periodik jaringan jalan terbangun, tidak mesti bergantung pada jumlah kecelakaan yang telah terjadi pada ruas-ruas jalan dalam jaringan tersebut. Tujuannya adalah untuk menemukan kelemahan-kelemahan dalam hal keselamatan (safety deficiencies) yang perlu mendapatkan perhatian ataupun tindakan-tindakan penanganan. 

 

IKJ yang dilakukan secara periodik dan reguler merupakan suatu upaya kontrol dalam penjaminan mutu keselamatan jalan yang komprehensif. Inspeksi reguler perlu memperhatikan aspek fungsi dan kelas jalan yang diperiksa. Dengan menggunakan metode yang sesuai, kondisi dari berbagai karakteristik fisik berikut ini perlu diketahui dan dianalisis:

  1. Keberadaan dan visibilitas marka dan rambu jalan
  2. Marka pada permukaan jalan akan tergerus oleh cuaca dan rambu di sisi jalan dapat tertutup oleh vegetasi atau rusak akibat kecelakaan. Pada ruas-ruas tertentu juga sering dijumpai ketiadaan rambu yang seharusnya ada. Inspeksi terhadap marka dan rambu untuk seluruh jaringan jalan penting terutama pada tempat-tempat tertentu yang memiliki potensi bahaya, seperti tikungan tajam, penyempitan jalan, persimpangan jalan, dan sebagainya.
  3. Keadaan, lokasi, dan kondisi penerangan jalan
  4. Penerangan jalan terpengaruh oleh kondisi cuaca, gangguan listrik, vegetasi, dan sebagainya sehingga penting untuk diperiksa secara reguler, terutama pada lokasi percampuran arus lalulintas kendaraan dengan kelompok pengguna jalan yang rentan.
  5. Karakteristik bahaya pada sisi jalan (roadside hazards)
  6. Lingkungan sisi jalan berubah sepanjang waktu. Pertokoan baru, perumahan baru, sekolah, pertumbuhan vegetasi, dan lain-lain, adalah contoh yang sering dijumpai. Gangguan sisi jalan, penghalang visibilitas, keberadaan pelindung sisi jalan, dan berbagai potensi bahaya di lingkungan sekitar jalan penting untuk dikendalikan dan ditangani.
  7. Kelompok pengguna yang rentan (vulnerable road users)
  8. Para pengguna jalan yang tidak terlindung, seperti pejalan kaki dan pengendara sepeda, tidak hanya melakukan gerakan menyeberang jalan, namun juga bergerak di sepanjang sisi jalan. Inspeksi keselamatan memeriksa lokasi dan desain fasilitas penyeberangan, trotoar, dan jalur sepeda. Berbagi strategi perlu direkomendasikan untuk membatasi jumlah titik konflik dan mengoptimalkan proteksi bagi pengguna jalan yang rentan.
  9. Berbagai kerusakan badan jalan pada arah memanjang maupun melintang juga perlu untuk diperiksa dan direkomendasikan penanganannya.

Manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan IKJ adalah:

  1. Mengeliminir kelemahan-kelemahan sisi keselamatan tepat pada waktunya
  2. Menkoordinir strategi pemeliharaan bangunan dan perkerasan jalan
  3. Mencegah kecelakaan lalulintas melalui strategi rekayasa lalulintas dan pekerjaan redesain kecil
  4. Meningkatkan taraf keselamatan bagi semua kelompok pengguna jalan
  5. Memunculkan berbagai rekomendasi terkait dengan proses penjaminan mutu keselamatan jalan (audit, pemeliharaan berkala, manajemen lalulintas, dan sebagainya)
  6. Menerapkan strategi-strategi perbaikan berbiaya murah dalam jangka pendek
 

d.        Penanganan Daerah Rawan Kecelakaan

Kejadian kecelakaan lalu lintas, terutama yang menimbulkan konsekuensi serius seperti luka parah dan kematian, tidak terdistribusi secara merata di seluruh jaringan jalan kota maupun luar kota dan tidak memiliki hubungan linear dengan volume lalu lintas. Berdasarkan pengalaman internasional dalam bidang analisis kecelakaan, pemetaan kecelakaan (menurut lokasi, tempat, situasi, pengguna jalan, dan sebagainya) merupakan prasyarat yang penting bagi upaya penanganan dan pencegahan kecelakaan. Pemetaan ini juga sangat penting sebagai input untuk perbaikan lokasi-lokasi di mana kecelakaan sering terjadi. Telah tercapai pemahaman umum bahwa kecelakaan-kecelakaan serius memiliki pola dan karakteristik yang berbeda dengan kecelakaan-kecelakaan yang hanya mengakibatkan cidera ringan ataupun kerusakan kepemilikan saja.

Lokasi atau titik rawan kecelakaan (blackspot) diartikan berbeda-beda di tiap negara, bergantung pada prioritas dan pola kebijakan negara tersebut dalam menangani permasalahan keselamatan lalu lintas. Namun pada intinya blackspot diartikan sebagai suatu ruas jalan yang panjangnya kurang dari X meter, yang menjadi tempat bagi terjadinya Y kali atau lebih kecelakaan dalam kurun waktu Z tahun. Parameter X, Y, dan Z disesuaikan secara periodik oleh negara-negara yang serius dalam penyelenggaraan jalan berkeselamatan sesuai dengan target pencapaian program-program keselamatan jalan mereka masing-masing.

Di Portugal, misalnya, titik rawan kecelakaan diartikan sebagai seruas jalan dengan panjang maksimum 200 meter yang menjadi tempat bagi paling tidak 5 kecelakaan pertahun yang mencapai indikator keseriusan (seriousness indicator) lebih dari 20. Indikator keseriusan itu sendiri dihitung dari rumus (100 x jumlah orang tewas) + (10 x jumlah orang cidera berat) + (3 x jumlah orang cidera ringan) (Penanganan Potensial Lokasi Rawan Kecelakaan Dengan Audit di Lingkungan BBPJN IV, 2014). Sementara itu, definisi strategis yang dianut di Belgia adalah black zone, yaitu zona yang telah mencapai koefisien prioritas (priority coefficient) di atas 15. Koefisien ini dihasilkan dari rumus (5 x jumlah orang tewas) + (3 x jumlah orang cidera berat) + (1 x jumlah orang cidera ringan) (Penanganan Potensial Lokasi Rawan Kecelakaan Dengan Audit di Lingkungan BBPJN IV, 2014).

Norwegia memiliki istilah blackspot dan black section. Blackspot diartikan sebagai ruas jalan kurang dari 100 meter yang pernah menjadi tempat bagi paling tidak 4 kecelakaan selama periode 4 tahun. Definisi black section serupa dengan definisi blackspot, hanya saja segmen jalan yang ditinjau kurang dari 1000 meter. Di Singapura, blackspot diartikan sebagai titik rawan tempat terjadinya 15 kecelakaan atau lebih dalam kurun waktu 3 tahun. Jerman, Denmark, dan Austria juga memiliki definisi mereka sendiri tentang blackspot (Penanganan Potensial Lokasi Rawan Kecelakaan Dengan Audit di Lingkungan BBPJN IV, 2014). Sementara itu, Inggris dan Finlandia sudah meninggalkan faktor jumlah kecelakaan dalam definisi blackspot mereka. Hal ini karena hampir seluruh lokasi-lokasi rawan ini telah diperbaiki sejak tahun 1970an.

Pendekatan dasar untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi titik rawan adalah dengan melakukan analisis statistik dan pemetaan berdasarkan sejarah data kecelakaan di sepanjang jaringan jalan. Basis data kecelakaan, dengan demikian, menjadi perangkat yang sangat penting bagi identifikasi titik rawan dan harus memuat informasi mendasar tentang kecelakaan dan lokalisasi tiap-tiap titik atau segmen jalan, termasuk tipe dan tingkat kerusakan kecelakaan, kendaraan dan pengguna jalan yang terlibat. Informasi tambahan lain yang berguna adalah kondisi cuaca dan waktu saat terjadinya kecelakaan. Indikator Tingkat kecelakaan (jumlah kecelakaan per kendaraan-km) tidak terlalu tepat untuk digunakan sebagai dasar identifikasi titik rawan.

Di sebagian besar negara Eropa, identifikasi titik rawan dilakukan secara reguler menggunakan data kecelakaan tiga atau lima tahun terakhir untuk kecelakaan yang mengakibatkan cidera serius atau fatalitas. Kecelakaan yang berakibat cidera ringan atau kerusakan kepemilikan memerlukan metodologi analisis yang berbeda dengan kecelakaan serius.

Prasyarat penting lain yang mendukung suksesnya penanganan lokasi-lokasi titik rawan adalah kerjasama yang erat antara polisi lalulintas, otoritas lalulintas jalan, dan penyelenggara jalan. Pihak-pihak ini memiliki kewajiban untuk menyediakan data tentang karakteristik infrastruktur dan lalulintas pada ruas jalan yang diselidiki serta memonitor implementasi penanganan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Skala penanganan titik rawan bervariasi dari penanganan berbiaya murah (bukan berarti bermutu rendah) hingga penggantian struktural jalan. Penanganan berbiaya murah mengandung maksud murah dalam hal biaya kapital, sehingga implementasi cepat dapat dilakukan untuk memperbaiki infrastruktur pada sebanyak mungkin titik rawan, dengan demikian diharapkan banyak kejadian kecelakaan dapat dihindarkan. Namun demikian, penanganan jenis ini umumnya terlepas dari tipe penanganan yang lebih kompleks guna menyediakan fasilitas jalan dengan nilai keselamatan tinggi yang berkelanjutan. Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penerapan, penanganan umumnya dibedakan menjadi penanganan segera dan penanganan jangka panjang. Jelas bahwa penanganan murah yang dapat segera diterapkan akan memiliki rasio biaya-manfaat yang tinggi.

Untuk dapat menyarankan penanganan ataupun perbaikan infrastruktur pada lokasi blackspot, pihak yang berwenang memerlukan informasi dari analisis kecelakaan berdasarkan basis data kecelakaan yang ada, laporan penyelidikan Polisi, serta melakukan kunjungan lapangan. Kunjungan ini diperlukan untuk memperkirakan berbagai faktor penyebab yang mungkin berkontribusi pada kejadian kecelakaan dan tingkat keparahannya, serta untuk mengevaluasi berbagai alternatif strategi penanganan titik rawan.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa investigasi lapangan tidak hanya dituntut untuk menghasilkan metode penanganan titik rawan yang sesuai, namun juga harus menyajikan evaluasi ekonomis dan perkiraan lamanya waktu yang diperlukan untuk mengimplementasikan metode tersebut.

e.         Manajemen Keselamatan Jaringan Jalan

Menjadi suatu hal yang penting bagi pemegang kebijakan penyelenggaraan jalan untuk dapat menentukan ruas-ruas jalan tertentu yang berkeselamatan rendah dan dapat ditingkatkan melalui perbaikan-perbaikan prasarana dan kelengkapan jalan. Terbentur pada terbatasnya sumber dana yang dapat dimanfaatkan, tingkat kepentingan dan prioritas berbagai kemungkinan perbaikan perlu dievaluasi, sehingga penetapan peringkat program-program yang dinilai efisien dapat ditentukan. Manajemen Keselamatan Jaringan (MKJ) merupakan sebuah upaya pada level pemegang kebijakan untuk membantu penyelenggara jalan mengidentifikasi ruas-ruas dalam jaringan jalan yang memiliki nilai potensi keselamatan tinggi. Dalam konteks ini, suatu ruas jalan dikatakan memiliki potensi keselamatan (safety potential) tinggi jika perbaikan infrastruktur pada ruas tersebut akan berimbas pada tingkat efisiensi biaya yang besar.

MKJ menyediakan seluruh informasi yang diperlukan untuk melakukan evaluasi keselamatan jalan secara objektif dan penetapan ruas-ruas jalan untuk penanganan lebih lanjut. Dengan demikian, sumber daya yang terbatas dapat digunakan sebaik-baiknya untuk meningkatkan keselamatan jalan bagi seluruh masyarakat.

Perlu dicatat bahwa untuk mencapai target pengurangan angka fatalitas dan korban kecelakaan, seluruh komponen penyusun sistem transportasi (kendaraan, pengguna jalan, dan infrastruktur jalan) perlu mendapat perhatian. Kecelakaan pada umumnya diakibatkan oleh adanya defisit interaksi antar ketiga komponen ini. Oleh karena itu, data kecelakaan sesungguhnya mencerminkan kombinasi pengaruh seluruh komponen, yaitu kondisi pada saat kesemua komponen tersebut tidak bekerja bersama-sama secara baik. Bagi penyelenggara jalan, hal yang cukup sulit adalah memperkirakan keselamatan dari sisi pelayanan infrastruktur jalan secara terisolasi dari komponen-komponen lain dalam rangka penentuan ruas-ruas yang layak diprioritaskan untuk perbaikan infrastruktur.

Dewasa ini belum banyak negara yang menerapkan Manajemen Keselamatan Jaringan sebagai bagian dari upaya penyelenggaraan jalan berkeselamatan. Contoh negara yang telah menerapkan MKJ adalah Jerman dan Prancis. Jerman telah mengembangkan sistem MKJ yang dituangkan dalam Guidelines for Safety Analysis of Road Networks (RSN). Sementara itu, Perancis juga telah mengembangkan pendekatan User Safety on the Existing Road Network (SURE). 

MKJ dapat dilihat sebagai sebuah proses komprehensif yang di dalamnya merangkum fungsi Manajemen Titik Rawan (Blackspot Management). Namun keduanya dapat pula dipandang sebagai dua fungsi yang saling melengkapi. Manajemen Titik Rawan bertujuan untuk mengurangi potensi kecelakaan di masa depan dengan melakukan penanganan remedial pada bagian-bagian jalan tempat kecelakaan sering terjadi berdasarkan data kecelakaan beberapa tahun sebelumnya. Sedangkan MKJ lebih membidik penanganan-penanganan remedial pada bagian-bagian jalan yang memiliki potensi pengurangan biaya kecelakaan paling tinggi. MKJ ditopang oleh 3 buah komponen struktural sebagai berikut:

  1. analisis statistik kecelakaan berskala jaringan. Komponen ini menjadi dasar bagi identifikasi dan pembuatan ranking ruas-ruas jalan ditinjau dari sisi potensi biaya kecelakaan yang ditimbulkan. Untuk itu perlu diupayakan tersedianya basis data kecelakaan yang menjangkau data 3 hingga 5 tahun silam.
  2. analisis detail atas ruas-ruang yang memiliki kinerja keselamatan terburuk. Pada komponen ini ditentukan faktor-faktor dari infrastruktur yang dapat berkontribusi pada terjadinya kecelakaan dan dikembangkan berbagai strategi penanganan yang mungkin.
  3. Penyusunan prioritas tindak penanganan. Dalam komponen ini diperbandingkan potensi pengurangan biaya kecelakaan tiap-tiap tindak penanganan yang mungkin untuk disusun prioritas/rankingnya.

Meskipun idealnya analisis keselamatan perlu dilakukan terhadap seluruh jaringan jalan, namun ruang lingkup aplikasi MKJ dibatasi hanya pada bagian-bagian jaringan jalan yang memiliki data (prasarana dan kecelakaan) yang mendukung. Pada tahap pertama, penerapan MKJ dapat hanya meliputi sebagian jaringan jalan nasional dengan data kecelakaan yang berakibat kematian dan luka serius saja. Dengan semakin baiknya kualitas dan kuantitas data, analisis dapat diperluas untuk mengikutsertakan bagian-bagian jaringan jalan berikutnya.

f.          Integrasi Aspek Keselamatan di Dalam Siklus Penyelenggaraan Jalan

Berbagai strategi penanganan aspek keselamatan di atas dapat diintegrasikan ke dalam siklus penyelenggaraan jalan, dari sejak tahapan Perencanaan Umum hingga Pemeliharaan. Ilustrasi pengintegrasian ini disajikan pada Gambar 2.14 berikut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2.14  Integrasi Strategi Keselamatan di Dalam Siklus Pembangunan Jalan

 

2.4.           Penanganan Lokasi rawan Kecelakaan

Suatu lokasi dinyatakan sebagai lokasi rawan kecelakaan lalu lintas apabila :

  1. Memiliki angka kecelakaan yang tinggi.
  2. Lokasi kejadian kecelakaan relatif menumpuk.
  3. Lokasi kecelakaan berupa persimpangan atau segmen ruas jalan sepanjang 100 - 300 m untuk jalan perkotaan, ruas jalan sepanjang 1 km untuk jalan antar kota.
  4. Kecelakaan terjadi dalam ruang dan rentang waktu yang relatif sama. dan
  5. Memiliki penyebab kecelakaan dengan faktor yang spesifik.

Prinsip dasar penanganan lokasi rawan kecelakaan, antara lain:

1.         penanganan lokasi rawan kecelakaan sangat bergantung kepada akurasi data kecelakaan, karenanya data yang digunakan untuk upaya ini harus bersumber pada instansi resmi.

2.         penanganan harus dapat mengurangi angka dan korban kecelakaan semaksimal mungkin pada lokasi kecelakaan.

3.         solusi penanganan kecelakaan dipilih berdasarkan pertimbangan tingkat pengurangan kecelakaan dan pertimbangan ekonomis.

4.         upaya penanganan yang ditujukan meningkatkan kondisi keselamatan pada lokasi kecelakaan dilakukan melalui rekayasa jalan, rekayasa lalu lintas dan manajemen lalu lintas.

Di dalam terminologi keselamatan jalan ada dua strategi peningkatan keselamatan jalan, yaitu strategi pencegahan kecelakaan lalu lintas dan pengurangan kecelakaan lalu lintas.

a)        pencegahan kecelakaan yang berorientasi kepada peningkatan keselamatan lalu lintas melalui perbaikan disain geometri jalan.

b)        pengurangan kecelakaan yang berorientasi kepada penanganan masalah yang bersifat eksisting.

2.4.1.     Penanganan Lokasi Tunggal

Penanganan lokasi tunggal merupakan penanganan persimpangan atau segmen ruas jalan tertentu.  Kriteria lokasi tunggal antara lain:

a.         lokasi penanganannya merupakan titik (persimpangan) atau segmen ruas jalan sepanjang 200 m sampai dengan 300 m.

b.         lokasi kecelakaannya relatif mengelompok (clustered).

c.         memiliki faktor penyebab yang relatif sama yang terjadi secara berulang dalam suatu ruang dan rentang waktu yang relatif sama.

d.         identifikasi lokasi kecelakaan didasarkan atas tingkat kecelakaan dan tingkat fatalitas kecelakaan tertinggi yang dilakukan dengan teknik analisis statistik tertentu serta berdasarkan peringkat kecelakaan.

e.         rata-rata tingkat pengurangan kecelakaan dengan pendekatan ini umumnya mencapai 33% dari total kecelakaan.

2.4.2.     Penanganan Ruas atau Route

Penanganan ruas atau route jalan merupakan penanganan terhadap ruas-ruas jalan dengan kelas atau fungsi tertentu dan tingkat kecelakaannya di atas rata-rata. Kriteria penanganan ruas atau route antara lain :

a.         lokasi penanganan merupakan ruas jalan atau segmen ruas jalan (minimum 1 km).

b.         memiliki tingkat kecelakaan yang tinggi dibandingkan segmen ruas jalan lain.

c.         identifikasi lokasi kecelakaan didasarkan atas tingkat kecelakaan atau tingkat fatalitas kecelakaan tertinggi per km ruas jalan.

d.         rata-rata pengurangan tingkat kecelakaan dengan pendekatan ini mencapai 15% dari total kecelakaan.

2.4.3.     Sistem Pendataan Kecelakaan Lalu Lintas

Penanganan lokasi rawan kecelakaan didasarkan kepada data kecelakaan dan akurasi data kecelakaan. Untuk tujuan identifikasi lokasi rawan kecelakaan, analisis harus didukung oleh sistem pendataan yang sistematis dan komprehensif. Sistem-3L merupakan salah satu data base kecelakaan lalu lintas yang disarankan digunakan untuk tujuan penyelidikan kecelakaan.

Jika sistem data base kecelakaan bukan merupakan Sistem-3L, perlu dipastikan beberapa persyaratan berikut :

a.         sistem data base memiliki data yang berkaitan dengan aspek jalan dan lingkungan, aspek kendaraan, dan aspek manusianya sebagai pengguna.

b.         memiliki fasilitas analisis data untuk mengeluarkan tabel-tabel.

c.         mampu mengeluarkan daftar lokasi kecelakaan dengan angka terburuk.

d.         memiliki fasilitas untuk menganalisis data kecelakaan pada lokasi yang spesifik.

2.4.4.     Pemilihan Teknik Penanganan

Pemilihan teknik penanganan lokasi rawan kecelakaan terutama didasarkan atas pertimbangan efektifitas. Selain itu, suatu penanganan yang diusulkan perlu memperhitungkan ekonomis tidaknya penanganan tersebut untuk diterapkan. Karena itu, suatu teknik penanganan dapat diusulkan apabila:

a.         Dapat dipastikan teknik tersebut memiliki pengaruh signifikan dalam mengurangi kecelakaan dan fatalitas kecelakaan.

b.         Sedapat mungkin tidak mengakibatkan timbulnya tipe kecelakaan lain.

c.         Tidak mengakibatkan dampak terhadap kinerja jalan, seperti kemacetan.

Berkaitan dengan prinsip tersebut, maka :

1.         teknik penanganan dipilih berdasarkan tingkat pengurangan kecelakaan yang optimal dari faktor-faktor penyebab kecelakaan yang teridentifikasi.

2.         pemilihan teknik penanganan sangat bergantung kepada tipe kecelakaan dan penyebabnya yang dinilai lebih mendominasi tipe lainnya.

3.         disain penanganan yang disiapkan merupakan suatu paket penanganan yang terdiri atas beberapa paket penanganan dan biasanya dipersiapkan lebih dari satu alternatif paket  penanganan.

4.         suatu paket penanganan yang optimal merupakan serangkaian teknik penanganan yang terintegrasi satu sama lain yang dapat menghasilkan tingkat pengurangan kecelakaan yang lebih maksimal. 

2.4.5.     Monitoring penanganan lokasi rawan kecelakaan

Monitoring lokasi rawan kecelakaan dimaksudkan untuk memonitor dan menilai dampak dari teknik penanganan yang telah diimplementasikan di lapangan, pada dasarnya adalah :

a.         untuk memastikan apakah teknik penanganan yang telah diterapkan memenuhi syarat keselamatan.

b.         untuk mengetahui tingkat kinerja atau keefektifannya dalam mengurangi kecelakaan.

c.         untuk mengevaluasi secara ekonomi tingkat pengembalian dari biaya penanganan tersebut.


Prosedur penanganan lokasi rawan kecelakan dirancang dalam suatu rangkaian atau tahap pekerjaan yang diawali dengan tahap identifikasi, tahap analisis, tahap seleksi, dan tahap monitoring dan evaluasi, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.15.

 Gammbar 2.15 Prosedur Penyelidikan dan Penanganan Lokasi Rawan Kecelakaan

a.        Persiapan

Beberapa hal yang harus dipersiapkan di dalam pelaksanaan penyelidikan lokasi rawan kecelakaan antara lain:

1.         Lakukan koordinasi dengan instansi terkait.

2.         Siapkan data kecelakaan lalu lintas sekurang-kurangnya dua tahun.

3.         Bila data tersebut masih belum tercatat ke dalam sistem pendataan yang formal, lakukan pencatatan data dari buku register kecelakaan yang ada di Kepolisian ke format yang ditentukan (mengacu kepada Sistem-3L atau sistem pendataan sejenis).

4.         Periksa kelengkapan data.

5.         Lengkapi sketsa tabrakan dengan data referensi kecelakaan yang dibutuhkan.

6.         Siapkan peta jaringan jalan sesuai rencana penanganan yang akan dilakukan.

7.         Lakukan inputing data ke komputer, bila belum terinput ke komputer.

8.         Lakukan pengolahan data seperti pengeluaran daftar 15 atau 10 lokasi kecelakaan terburuk baik untuk persimpangan (Node) maupun untuk segmen ruas jalan (Link) untuk ruas jalan perkotaan.

9.         Lakukan cara yang sama untuk ruas jalan antar kota 15 atau 10 lokasi, bila tidak memungkinkan dapat dilakukan kurang dari 10 lokasi.

10.     Konfirmasikan kembali hasil pengolahan yang dilakukan terutama lokasi-lokasi yang dianggap rawan kepada pihak Kepolisian.

11.     Bila terdapat perbedaan lokasi-lokasi terburuk tersebut lakukan editing data sesuai informasi terakurat yang dimiliki Kepolisian.

b.        Tahap identifikasi lokasi rawan kecelakaan

Langkah-1: Peringkatan awal – Identifikasi lokasi kecelakaan terburuk berdasarkan jumlah kecelakaan tertinggi

1.         Keluarkan daftar 15 lokasi atau 10 lokasi terburuk sesuai tujuan penyelidikan, yaitu identifikasi  lokasi kecelakaan terburuk.

2.         Lengkapi tabel/daftar lokasi kecelakaan tersebut dengan nama ruas, nama persimpangan sesuai data referensi yang digunakan.

Langkah-2: Peringkatan kedua – Peringkatan lokasi kecelakaan

1.         Peringkatan kecelakaan di jalan perkotaan :

a)        Siapkan data sekunder volume lalu lintas dan panjang ruas jalan.

b)        Lakukan perhitungan tingkat kecelakaan untuk lokasi persimpangan atau untuk lokasi ruas jalan.

c)        Bila volume lalu lintas dan panjang ruas jalan tidak diketahui gunakan pendekatan nilai kecelakaan dengan cara memberi bobot tiap kelas kecelakaan dengan AEK.

d)        Urutkan lokasi-lokasi kecelakaan tersebut berdasarkan nilai tingkat kecelakaan tertinggi atau AEK.

2.         Peringkatan kecelakaan di jalan antar kota :

a)        Siapkan data sekunder volume lalu lintas dan panjang ruas jalan.

b)        Lakukan perhitungan tingkat kecelakaan.

c)        Gunakan pendekatan statistik kendali mutu untuk menentukan lokasi rawan kecelakaan malalui garis kendali UCL.

d)        Urutkan lokasi-lokasi kecelakaan tersebut berdasarkan nilai tingkat kecelakaan tertinggi dan beri tanda lokasi-lokasi yang diidentifikasi sebagai lokasi rawan kecelakaan.

Langkah-3 : Penyelidikan awal – Survei pendahuluan untuk penandaan lokasi rawan kecelakaan di lapangan

1.         Lakukan persiapan survei lapangan untuk penyelidikan awal terhadap lokasi-lokasi yang ditentukan, antara lain penyiapan :

a)        Peta jaringan jalan,

b)        Diagram batang (menggunakan Sistem-3L) dari masing-masing lokasi kecelakaan yang akan diselidiki,

c)        Photo copy formulir data kecelakaan dari masing-masing lokasi kecelakaan yang akan diselidiki.

2.         Lakukan survei lapangan terhadap sebagai penyelidikan awal kepada lokasi-lokasi kecelakaan, antara lain dengan cara:

a)        Menandai setiap lokasi kecelakan pada peta jaringan jalan,

b)        Melengkapi referensi kecelakaan  dan menandainya pada peta jaringan jalan,

c)        Mengamati kondisi jalan dan lingkungan jalan pada lokasi kecelakaan, sebaiknya menggunakan kamera photo/video,

d)        Mengamati aliran lalu lintas termasuk pejalan kaki menggunakan kamera photo/video.

3.         Dari hasil-hasil survei lapangan tersebut buatkan diagram kecelakaan yang memuat informasi yang diperlukan dari lokasi-lokasi kecelakaan dengan cara melengkapi peta lokasi kecelakaan dengan simbol-simbol, yang antara lain memuat:

a)        Tipe tabrakan

b)        Kendaraan terlibat

c)        Nomor kasus

d)        Kelas kecelakaan

Langkah-4 : Peringkatan akhir – penentuan lokasi rawan kecelakaan untuk penyelidikan lebih lanjut

1.         Lakukan evaluasi terhadap hasil-hasil yang didapatkan dari pekerjaan pada langkah-1 hingga langkah-3.

2.         Lakukan evaluasi terhadap lokasi-lokasi kecelakaan dengan mempertimbangkan faktor kesulitan, ketersediaan dana dan SDM serta berbagai masukan dari masyarakat seperti :

a)        Tingkat kesulitan penanganan ditinjau dari beberapa aspek, antara lain :

1)        Kondisi topografi dan geometri lokasi kecelakaan secara umum,

2)        Kondisi tata guna lahan dan kemungkinan rencana pengembangan jalan,

3)        Ada tidaknya program pengembangan jalan yang sedang berjalan.

b)        Ketersediaan anggaran dan tenaga penyelidik, antara lain :

1)        Ketersediaan dana penanganan, dan

2)        Ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM).

c)        Pandangan masyarakat terhadap suatu kondisi (lalu lintas atau kecelakaan) tertentu sangat perlu diperhatikan, seperti :

1)        Adanya tekanan masyarakat melalui media masa, dan / atau

2)        Dukungan masyarakat di sekitar lokasi kecelakaan.

3.         Hasil evaluasi tersebut masukkan dalam matrik peringkatan akhir dengan memasukkan ketiga informasi tersebut di atas seperti ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 2.2 Pemeringkatan lokasi berdasarkan tingkat kesulitan

Lokasi

Peringkatan Sebelumnya

Sulit / Mudah

Peringkatan Akhir

A
B
C
D

1

4

3

2

Sedang

Mudah

Mudah

Sangat Sulit

1

3

2

4

 

c.         Tahap analisis Data

Langkah-5 : Pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data lapangan

1.         Pengumpulan data lapangan

a)        Lakukan persiapan survei lapangan untuk penyelidikan lapangan yang lebih detail terhadap lokasi-lokasi kecelakaan yang mencakup persiapan peralatan survei, formulir lapangan, dan kelengkapan data kecelakaan. Data kecelakaan yang perlu disiapkan antara lain :

1)        Peta lokasi kecelakaan,

2)        Titik / lokasi kecelakaan,

3)        Karakteristik kecelakaan yang mencakup :

·           Tipe tabrakan,

·           Modus operandi,

·           Kelas kecelakaan,

·           Jam kejadian,

·           Jenis kendaraan yang terlibat kecelakaan,

·           Kondisi jalan saat terjadi kecelakaan.


4)        Diagram tabrakan

·           Diagram tabrakan merupakan informasi kecelakaan lalu lintas yang disajikan dalam suatu denah/peta.

·           Denah peta sebaiknya menggunakan skala 1 : 2500 dilengkapi dengan garis kerb/pinggir jalan, fasilitas dan persimpangan jalan, letak pohon-pohon (jika ada), bangunan dan marka jalan.

·           Penyajian data kecelakaan/diagram tabrakan.

2.         Lakukan studi konflik lalu lintas pada lokasi-lokasi yang dianggap perlu. Survei konflik lalu lintas dimaksudkan untuk mengidentifikasi tipikal manuver lalu lintas pada suatu lokasi yang berpotensi atau dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas.  Survei konflik (mengacu kepada Manual Survei  Konflik Lalu Lintas), antara lain untuk   menemukenali :

a)        Konflik lalu lintas di persimpangan,

b)        Konflik lalu lintas pada segmen (100 m) ruas jalan,

c)        Konflik lalu lintas dengan pejalan kaki pada lokasi-lokasi penyeberangan jalan.

3.         Lakukan survei perilaku pengguna jalan (pengemudi dan pejalan kaki). Survei ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran perilaku pengguna jalan seperti perilaku manuver kendaraan pada suatu persimpangan tak bersinyal, atau pada lokasi penyeberangan jalan. Beberapa hal yang dicatat seperti perilaku pengemudi yang melakukan tindakan berhenti sesaat, yang mengurangi kecepatan, dan yang mengabaikan kondisi lalu lintas ketika memasuki persimpangan dari jalan minor atau ketika melewati lokasi penyeberangan jalan.

4.         Lakukan survei lalu lintas yang antara lain survei kecepatan, survei volume lalu lintas, survei pejalan kaki. Survei lalu lintas yang umum dilakukan antara lain :

a)        Survei volume lalu lintas dimaksudkan untuk mengetahui jumlah lalu lintas dan populasi kendaraan yang bergerak di suatu lokasi kecelakaan. Survei ini mengacu kepada Manual Survei Volume Lalu Lintas yang ada.

b)        Survei kecepatan lalu lintas kendaraan bertujuan untuk mengidentifikasi kecepatan lalu lintas setempat. Survei ini mengacu kepada Manual Survei  Kecepatan yang ada.

c)        Survei pejalan kaki dimaksudkan terutama untuk mengetahui volume pejalan kaki dan karakteristik pergerakannya khususnya pada lokasi kecelakaan lalu lintas. Survei ini mengacu kepada Manual Survei Pejalan Kaki yang ada.

5.         Lakukan survei kondisi jalan dan lingkungan jalan. Survei kondisi jalan dan lingkungan jalan merupakan pemeriksaan terhadap geometri jalan (kondisi fisik jalan) dan kondisi lingkungan jalan.

a)        Survei geometri jalan

1)        pengukuran dimensi lebar perkerasan jalan, lebar median, lebar bahu, lebar marka, lebar drainase, dsb.

2)        survei jarak pandang khususnya pada persimpangan, tikungan jalan, dsb.

b)        Survei kondisi jalan, antara lain :

1)        kondisi permukaan jalan (bergelombang, licin, dsb)        

2)        kondisi bahu jalan.

c)        Survei pengaturan lalu lintas dan kondisi penerangan, antara lain :

1)        jenis pengaturan,

2)        marka dan kondisi marka jalan,

3)        perambuan dan kondisi rambu,

4)        kondisi penerangan jalan.

d)        Survei lingkungan jalan, antara lain :

1)        tipe lingkungan samping jalan (tata guna lahan dan kegiatan samping jalan),

2)        kondisi lingkungan jalan (rawan longsor, berbatu, berpasir, berlumpur, berair, dsb).

3)        kondisi lingkungan jalan yang membosankan.      

6.         Lakukan survei wawancara terhadap pengemudi, pejalan kaki, masyarakat di sekitar lokasi kecelakaan (bila diperlukan). 

7.         Survei wawancara (bila diperlukan) dilakukan kepada kelompok pengemudi, pejalan kaki, dan masyarakat lainnya.

a)        Survei wawancara terhadap pengemudi :

1)        untuk mengidentifikasi tingkat kemampuan pengemudi terhadap sistem pengaturan lalu lintas (rambu, marka, dsb.),

2)        persepsi pengemudi terhadap kondisi lalu lintas dan kecelakaan lalu lintas serta perbaikan yang diharapkan.

b)        Survei wawancara terhadap pejalan kaki :

1)        untuk mengidentifikasi persepsi pejalan kaki terhadap kondisi lalu lintas dan kecelakaan lalu lintas,

2)        untuk mengidentifikasi kondisi yang diharapkan.

c)        Survei wawancara terhadap kelompok masyarakat lainnya, misalnya kelompok pendidik, kelompok pengemudi ojek, beca, sepeda, dan pengguna jalan lainnya yang dinilai sering melihat atau terlibat di dalam kecelakaan lalu lintas.

8.         Pengolahan dan penyajian data      

a)        Sajikan masing-masing data kecelakaan dari tiap lokasi kecelakaan dalam laporan ringkasan kecelakaan.

b)        Sajikan data volume lalu lintas, pergerakan lalu lintas, dan data kecepatan lalu lintas.

9.         Penyajian peta lokasi kecelakaan

a)        Sajikan hasil pengukuran dimensi kondisi eksisting jalan pada peta yang dilengkapi dengan data referensi.

b)        Sajikan titik lokasi kecelakaan pada peta lokasi kecelakaan.

Langkah-6 : analisis karakteristik kecelakaan

1.         Pengolahan data kecelakaan

a)        Keluarkan tabulasi silang dari data-data kecelakaan terhadap kelas kecelakaan dengan tipikal kecelakaan untuk semua data kecelakaan dalam bentuk nominal atau persen.

1)        Faktor penyebab kecelakaan (modus operandi)

2)        Tipe tabrakan

3)        Keterlibatan pengguna jalan

4)        Lokasi kejadian

5)        Waktu kejadian kecelakaan

6)        Kejadian kecelakaan

 

b)        Dengan cara yang sama lakukan untuk setiap lokasi kecelakaan yang akan ditangani (dalam bentuk nominal atau prosen).

c)        Identifikasi faktor-faktor dominan melalui ferekuensi kecelakaan dalam bentuk nominal atau prosen.

2.         analisis diagram tongkat

a)        Keluarkan diagram tongkat (stick diagram) dengan membuat beberapa kombinasi data kecelakaan

b)        Kelompokkan data-data kecelakaan atas tipe dan penyebab kecelakaan sejenis.

c)        Lakukan cara yang sama untuk mengidentifikasi keterkaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya.

Identifikasi faktor-faktor dominan melalui frekuensi kecelakaan dalam bentuk nominal atau prosen.

3.         Uji statistik

a)        Tentukan teknik uji statistik yang akan digunakan (mengacu kepada uji-Normal atau uji-Chi Kuadrad).

b)        Tentukan variable kecelakaan (faktor-faktor dominan yang akan diuji dalam bentuk nominal atau prosen) baik untuk lokasi penanganan (site) maupun control.

c)        Buat hipotesis pengujian.

d)        Hitung nilai observasi berdasarkan uji-Normal atau uji-Chi Kuadrad.

e)        Bandingkan nilai observasi dengan nilai tabel dengan tingkat signifikansi.

f)         Tipikal kecelakaan dengan nilai observasi yang melebihi nilai tabel dengan tingkat signifikasi di klasifikasikan sebagai tipe yang khas/tunggal pada lokasi tersebut.

Langkah-7: analisis persepsi pengemudi

Diagnosa terhadap persepsi pengemudi pada dasarnya untuk mendapatkan gambaran atau pandangan pengemudi terhadap petunjuk visual seperti marka, garis tepi jalan, tiang listrik, pohon-pohon yang dapat mengarahkan pengemudi kepada informasi yang benar mengenai kondisi jalan di depannya. Petunjuk visual ini diharapkan berkesinambungan, tidak terputus sehingga yang dapat memenuhi harapan pengemudi untuk mendapatkan informasi kondisi jalan di depannya. Beberapa hal yang diperlukan guna mendapatkan kondisi visual suatu jalan antara lain : 

1.         Melakukan observasi dengan melihat kondisi marka, garis tepi jalan, penempatan tiang telepon/listrik, pohon-pohon di sekitar lingkungan jalan.

2.         Teknik observasi yang dinilai cukup efektif adalah dengan melihat atau mencoba mengalami sendiri mengemudikan kendaraan pada lokasi yang diobservasi.

3.         Melakukan wawancara kepada beberapa pengemudi terhadap kondisi visual jalan khususnya pada lokasi kecelakaan.

d.        Tahap pemilihan teknik penanganan

Langkah-8: Identifikasi dan pemilihan teknik penanganan

1.         Pemilihan teknik penanganan:

a)        Pastikan kembali tipikal dominan kecelakaan sesuai dengan hasil analisis data kecelakaan dan beberapa aspek pertimbangan lainnya.

b)        Prioritaskan penanganan kepada aspek-aspek dominan serta aspek-aspek yang bersifat tunggal.

c)        Identifikasi teknik penanganan masing-masing aspek dengan mempertimbangkan tingkat pengurangan yang optimum.

d)        Kombinasikan penanganan satu aspek dengan aspek lainnya.

e)        Hitung tingkat efektifitas teknik penanganan yang diusulkan.

2.         Dasar perencanaan dan penyempurnaan disain teknik penanganan

a)        Siapkan skema penanganan dalam beberapa alternatif paket penanganan.

b)        Gunakan konsep perencanaan jalan dan disain jalan berwawasan keselamatan (mengacu kepada Tata Cara Pencegahan Kecelakaan Lalu lintas) dalam merancang disain penanganan.

 

Langkah-9 : Pertimbangan ekonomis

1.         Pastikan skema penanganan yang diusulkan dalam beberapa alternatif pilihan.

2.         Hitung nilai manfaat (Bn) dari masing-masing skema penanganan

3.         Tentukan total biaya dari masing-masing skema penanganan yang diusulkan.

4.         Tentukan biaya manfaat pada tahun pertama (Bn) dari masing-masing skema dengan cara mengurangi masing-masing biaya manfaat dengan masing-masing biaya perawatan skema pada tahun pertama.

5.         Hitung nilai FYYR (%) dari masing-masing skema penanganan.

6.         Bandingkan nilai FYYR dari masing-masing skema dan pilih nilai FYYR tertinggi.

7.         Nilai FYYR tertinggi merupakan peringkat utama pilihan lokasi penanganan.

e.        Pelaksanaan konstruksi

Pedoman teknis ini tidak membahas pelaksanaan konstruksi atau pengimplementasian skema penanganan di lapangan. Namun demikian, beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan pekerjaan sebelum, sesudah, dan pada saat pelaksanaan konstruksi adalah :

1.         Lakukan pengecekan disain penanganan, yang antara lain:

a)        Pemeriksaan kembali kelengkapan disain geometri (mengacu kepada Standar Geometri) dan prinsip-prinsip keselamatan (mengacu kepada Pedoman Teknis Pencegahan dan Pengurangan Kecelakaan).

b)        Pemeriksaan disain penanganan ini dimaksudkan untuk memastikan apakah usulan-usulan penanganan sudah diterjemahkan dengan benar dan apakah telah sesuai dengan masalah kecelakaan yang diidentifikasi.

2.         Lakukan persiapan pelaksanaan konstruksi di lapangan (pra-konstruksi), antara lain membuat :

a)        Rencana pelaksanaan konstruksi.

b)        Rencana dan konsep pengaturan lalu lintas sementara selama pelaksanaan konstruksi dilakukan (mengacu kepada Pedoman Pengaturan Lalu lintas Sementara Pd. T-12-2002).

c)        Rencana uji-coba dan sosialisasi pemanfaatan lalu lintas setelah pelaksanaan konstruksi.

3.         Awasi pelaksanaan konstruksi untuk memastikan bahwa implementasi teknik penanganan harus sesuai dengan yang direncanakan.

4.         Buat rencana atau konsep pengaturan lalu lintas sebagai sosialisasi penerapan disain penanganan terutama pada minggu-minggu pertama sejak pelaksanaan konstruksi selesai di lakukan.

f.          Tahap monitoring dan evaluasi

Langkah-10 : Monitoring perilaku lalu lintas dan kecelakaan

Monitoring lokasi kecelakaan yang setelah selesainya pelaksanaan konstruksi dimaksudkan untuk mendapatkan pengaruh teknik penanganan tersebut terhadap kondisi lalu lintas terutama untuk mengetahui reaksi pengemudi terhadap teknik penanganan yang diimplementasikan. Beberapa hal yang dilakukan berkaitan dalam kegiatan monitoring lokasi kecelakaan antara lain:

1.         Monitoring lokasi kecelakaan seyogianya dilakukan sejak tahap awal pengoperasian lalu lintas pada lokasi kecelakaan, untuk mengantisipasi secara dini munculnya pengaruh lain yang berakibat negatif berupa konflik lalu lintas, kecelakaan, atau penurunan kinerja jalan tersebut.

2.         Untuk melaksanakan kegiatan monitoring ini diperlukan suatu daftar isian berkaitan dengan aspek-aspek geometri dari jalan dan lingkungan jalan serta perilaku lalu lintas dari lokasi kecelakaan tersebut.

3.         Monitoring ini juga dilengkapi dengan monitoring data kecelakaan setelah implementasi di lapangan.

Beberapa hal yang harus dilakukan pada langkah ini adalah:

1.         Monitoring lalu lintas pada awal selesainya pengerjaan konstruksi

a)        Lakukan monitoring terhadap kecepatan lalu lintas, dengan melakukan pengamatan terhadap kecepatan.

b)        Lakukan pengamatan terhadap perilaku lalu lintas dengan melakukan survei konflik lalu lintas.

c)        Lakukan pengamatan terhadap perilaku pejalan kaki berkaitan dengan peningkatan fasilitas yang dibuat.

d)        Bila terjadi perubahan yang membuat kondisi lalu lintas semakin tidak terkontrol segera usulkan untuk dilakukan perbaikan.

 

2.         Monitoring kecelakaan lalu lintas :

a)        Lakukan monitoring terhadap kemungkinan munculnya tipe kecelakaan yang ditangani.

b)        Lakukan juga pengamatan terhadap munculnya tipe kecelakaan lain sebagai pengaruh penanganan yang diterapkan.

c)        Bila kejadian kecelakaan pada bulan-bulan awal muncul dengan frekuensi yang lebih tinggi segera usulkan untuk melakukan perbaikan terhadap disain penanganan yang diterapkan.

 

Langkah-11 : Evaluasi pengaruh penanganan terhadap kecelakaan

Evaluasi terhadap tingkat pengurangan kecelakaan :

1.         Kumpulkan data kecelakaan (idealnya dua tahun data) setetah pengimplementasian teknik penanganan pada lokasi yang ditangani.

2.         Gunakan teknik statistik untuk menguji adanya pengurangan kecelakaan untuk tipe tertentu.

3.         Tentukan lokasi pembanding (control site).

4.         Jika tidak diperoleh lokasi pembanding yang tepat, gunakan semua data pada tipe lokasi yang sejenis (ruas jalan atau persimpangan).

5.         Lakukan  teknik uji “before and after analysis” menggunakan analisis statistik Chi-Kuadrad.

6.         Hitung tingkat efektivitas penanganan menggunakan uji-k

Langkah-12 : analisis biaya dan manfaat

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

Contents

BAB 2         2-1

2.1.      KEBIJAKAN MENURUT JALAN YANG BERKESELAMATAN.. 2-1

2.1.1.       Perubahan Paradigma Penyelenggaraan Jalan. 2-1

2.1.2.       Regulasi Penyelenggaraan Jalan dan Konsekuensinya bagi Penyelenggara Jalan. 2-2

2.2.      Keselamatan Lalu lintas Terkait Prasarana Jalan. 2-6

2.2.1.       Fenomena Gunung Es Kecelakaan Lalu lintas. 2-6

2.2.2.       Konsep Jalan Berkeselamatan. 2-7

2.2.3.       Jalan dan Lingkungan Sebagai Penyebab Kecelakaan Lalu lintas. 2-8

2.2.4.       Interaksi Manusia Terhadap Kendaraan dan Jalan. 2-12

2.2.5.       Psikologi Beban Kerja dan Keselamatan Jalan. 2-17

2.2.6.       Memahami Aspek Psikologis-Fisiologis Pengguna Jalan Menuju Terselenggaranya Jalan yang Berkeselamatan. 2-19

2.3.      Peran Penyelenggara Jalan dalam Mewujudkan Jalan Berkeselamatan. 2-21

2.3.1.       Pendekatan Multibidang Untuk Menekan Tingginya Angka dan Dampak Kecelakaan Lalulintas  2-23

2.3.2.       Peranan yang Dituntut dari Direktorat Jenderal Bina Marga. 2-25

2.3.3.       Strategi-strategi Pengelolaan Aspek Keselamatan Lalu Lintas Jalan. 2-27

2.4.      Penanganan Lokasi rawan Kecelakaan. 2-41

2.4.1.       Penanganan Lokasi Tunggal 2-42

2.4.2.       Penanganan Ruas atau Route. 2-43

2.4.3.       Sistem Pendataan Kecelakaan Lalu Lintas. 2-43

2.4.4.       Pemilihan Teknik Penanganan. 2-44

2.4.5.       Monitoring penanganan lokasi rawan kecelakaan. 2-44

 

 

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Keterkaitan Antara Dinamika Mengemudi dan  Merekayasa Teknik Jalan. 2-15

Tabel 2.2 Pemeringkatan lokasi berdasarkan tingkat kesulitan. 2-49

 

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Perubahan Paradigma Penyelenggaraan Jalan. 2-2

Gambar 2.2 Aspek Legal Penyelenggaraan Jalan Berkeselamatan Berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. 2-5

Gambar 2.3 Kontinum Keselamatan Dalam Model Gunung Es, Sumber : Gryson dan Hakkert (1987). Maycock (1997) 2-6

Gambar 2.4 Faktor Penyebab Kecelakaan Berkendaraan, Sumber : Treat, et al (1977) 2-9

Gambar 2.5 Faktor Penyebab Kecelakaan di Australia Sumber : Austroads (2002) 2-9

Gambar 2.6 Interaksi Antara  Tuntutan Mengemudi – Kinerja  Fuller (2000) 2-13

Gambar 2.7 Proses “task-difficulty homeostasisFuller (2000) 2-14

Gambar 2.8 Ilustrasi Risk-homeostasis Wilde (1994) 2-17

Gambar 2.9 Hubungan Antara Kinerja dan Beban Kerja Pada Berbagai Tingkatan Tuntutan Kerja  2-18

Gambar 2.10 Kinerja Perubahan Kecepatan dan Beban Kerja  Antara Desain Jalan yang “Baik” dan “Buruk”  2-19

Gambar 2.11 Kontribusi Peran Ditjen Bina Marga Terhadap Penanganan Keselamatan di Jalan Raya  2-24

Gambar 2.12  Peran Ditjen Bina Marga dalam Keselamatan Jalan Bina Marga (2006) 2-26

Gambar 2.13  Strategi untuk Mewujudkan Jalan Berkeselamatan Antonissen (2006) 2-28

Gambar 2.14  Integrasi Strategi Keselamatan di Dalam Siklus Pembangunan Jalan. 2-41

Gambar 2.15 Prosedur Penyelidikan dan Penanganan Lokasi Rawan Kecelakaan. 2-45

 

 JASA KONSULTAN TEKNIK SIPIL 

LAPORAN BLACK SPOT DI ATAS ADALAH SALAH SATU CONTOH GAMBARAN UNTUK FILE - FILE KONSULTAN SIPIL YANG KAMI POSTING, UNTUK VERSI FULL LAPORANYA BISA ANDA DAPATKAN DENGAN MENGHUBUNGI KAMI DI 088239601412 (WA).

TUNGGU APALAGI SEGERA MILIKI FILE - FILE KONSULTAN TEKNIK SIPIL DENGAN CARA  MENGHUBUNGI KAMI. UNTUKL DETAIL LAPORAN DAN FILE KONSULTAN TEKNIK SIPIL BISA ANDA LIHAT DISINI  ATAU BISA JUGA DOWNLOAD CEK LIST FILE KONSULTAN TEKNIK SIPIL DISINI

UNTUK  MELIHAT DAFTAR HARGA FILE KONSULTAN DISINI

DEMIKIAN YANG DAPAT SAYA SAMPAIKAN SEMOGA BERMANFAAT DAN BERKAH. TERIMAKASIH TELAH MENGUNJUNGI KAMI DI JASA KONSULTAN TEKNIK SIPIL

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan Populer